Dekan FISIP Unigoro: Dorong Caleg Sampaikan Gagasan di Ruang Publik

oleh -
oleh

SuaraBojonegoro.com – Pemilu 2024 tinggal sebentar lagi. Sayangnya, banyak calon anggota legislatif (caleg) di Kabupaten Bojonegoro belum menyampaikan gagasan-gagasan politiknya untuk menarik perhatian pemilih. Apakah partai politik (parpol) tingkat daerah memang terfokus di pemilihan presiden (pilpres)? Berikut petikan wawancara Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bojonegoro (Unigoro), Ahmad Taufiq, S.Hi., M.Si., dengan redaktur website Unigoro.

Redaktur (R): Bagaimana pergerakan parpol di Bojonegoro saat ini? Apakah berkonsentrasi di Pilpres atau Pileg?
Taufiq (T): Sebetulnya apakah lebih mendahulukan isu elite (pilpres) atau lokal (pileg), memang faktanya kita tidak bisa membedakan. Karena format kampanye, publikasi, dan sosialisasi mereka rata-rata satu paket.

R: Maksudnya satu paket bagaimana?
T: Misalnya ikut branding partai. Pertama, bisa dimunculkan melalui figur partai plus salah satu capres yang diusung. Kedua, figur caleg yang dipararelkan. Antara caleg DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten berada dalam satu frame baliho. Pilihan untuk mempararelkan itu pun tidak asal. Tapi untuk memudahkan startegi komunikasi kepada publik. Agar pesannya tersampaikan dan publik juga bisa merekam kuat. Saya menduga ada semacam prioritas yang didahulukan oleh masing-masing induk partai. Setiap partai punya cara atau strategi yang berbeda.

R: Contoh strateginya seperti apa?
T: Misalnya strategi adaptasi atas kepatuhan intruksi pusat yakni mengkampanyekan partai sekaligus presidennya. Agar kepentingan lokalnya termanifestasi dan terbaca oleh publik dengan strategi tadi. Memang kalau diperhatikan, kelemahannya adalah bagaimana peran dari caleg untuk menyampaikan visi dan misi, janji kampanye, atau hal-hal apa saja yang dilakukan saat jadi anggota legislatif tidak terkomunikasikan dengan baik. Karena hanya tertutupi oleh stratgei pararel.

R: Berarti benar sejauh ini belum muncul transfer gagasan dari caleg?
T: Iya, transfer of idea-nya belum muncul. Ini bisa muncul dengan cara menciptakan dialog di ruang publik. Contohnya bikin nobar (nonton bareng) yang diselipi dengan diskusi kecil-kecilan tentang pendidikan politik atau pembelajaran demokrasi. Saya pikir itu cara yang lebih elegan. Agar semua orang bisa tahu kapasitas ide yang dimiliki oleh calon anggota legislatif. Selain itu, para pemilih jadi yakin untuk memilih calegnya. Saya pribadi menyarankan pada konteks ini caleg agar lebih kreatif. Misalnya bagaimana sosialisasi dilakukan bukan hanya one way communication (komunikasi satu arah), tetapi interaktif.

R: Apakah komunikasi interaktif bisa meningkatkan partisipasi pemilih pemula dari kalangan Gen Z?
T: Sebetulnya transfer of idea bukan hanya soal membangun ruang publik secara riil. Cara yang kedua adalah bagaimana membangun medsos (media sosial) sebagai ruang publik yang interaktif. Saya masih punya keyakinan Gen Z itu tidak pragmatis dan akan memilih. Tapi Gen Z itu memiliki pertimbangan matang ketika memilih. Bisa berdasarkan idenya atau track record-nya. Nah, ruang itu yang saya lihat belum dibangun secara masif oleh parpol maupun caleg. Misalnya memunculkan gagasan dengan diformat lebih eye catching seperti era sekarang. Saya pikir Gen Z akan lebih appreciated (mengapresiasi, Red).

R: Berarti cara seperti ini apakah lebih efektif dibandingkan hanya memperkenalkan diri melalui APK (alat peraga kampanye) seperti baliho?
T: Di era sekarang, model APK harus lebih kreatif. Nggak cuma pasang baliho pinggir jalan. Apalagi kita juga tidak tahu apakah baliho itu berizin atau berada di kawasan yang harus steril? Tapi kalau di sosmed pasti semua orang senang. Semua memiliki sosmed dan bisa mengakses kapanpun. Inilah mengapa tidak dicoba menciptakan ruang dialogis terbuka di sosmed? Itu bisa lho digunakan untuk menjual gagasan. Atau membuat official website calon yang memuat visi dan misi, CV (curriculum vitae), rekam jejak, dan prestasi yang bisa dilihat semua orang.

R: Gen Z adalah pemilih pemula yang jumlahnya paling banyak. Bagaimana cara merebut hati Gen Z selain menciptakan ruang dialog terbuka?
T: Tentu dengan mengikuti habit (kebiasaan, Red) yang mereka sukai atau kecenderungan apa yang disenangi. Cara menentukan strateginya mengikuti ritme yan mereka senangi dan inginkan. Ini bukan berarti pragmatis, tapi fleksibilitasnya di situ. Caleg harus masuk ke dunia Gen Z untuk menyamakan persepsi.

R: Lalu di Pemilu 2024 nanti, Gen Z harus ambil posisi apa?
T: Ya kalau secara normatif, harus memilih. Bagaimanapun Gen Z dalam perspektif jangka panjang 2045 adalah generasi Indonesia emas. Bonus demografi dari kalangan Gen Z harusnya dapat termanifestasi dengan baik. Menurut saya, yang menjadi sangat penting tugas parpol dan seluruh elemen masyarakat adalah bagaimana menjadikan bonus demografi dari limpahan pemilih Gen Z dilakukan dengan cara dan metode yang benar. Misalnya dengan pendidikan politik yang baik, partisipatif, interaktif, dan jujur. Sehingga harapan kita bisa menghasilkan produk politik yang baik. (din/Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.