Memahami Ekosistem Ekraf dari Kearifan Lokal

oleh -
oleh

Oleh: Ramon Pareno

SuaraBojonegoro.com – Di tingkat pusat, hingga tahun 2024 ini terdapat 17 sub sektor ekonomi kreatif beserta standar-standarnya. Ke 17 sub sektor itu adalah: (1) Arsitektur, (2) Desain Interior, (3) Musik, (4) Seni Rupa, (5) Desain Produk, (6) Fesyen, (7) Film-Animasi dan Video, (8) Fotografi, (9) Desain Komunikasi Visual, (10) Televisi dan Radio, (11) Kriya,(12) Periklanan, (13) Seni Pertunjukan, (14) Penerbitan, (15) Pengembang permainan, (16) Aplikasi, dan (17) Kuliner.

Bila dipetakan, maka akan lebih mudah mengawalinya dengan menentukan siapanya. Yakni siapa yang melakukan proses-proses penciptaan dan rasa, dua hal yang menjadi rujukan mengenai bagaimana produk itu terbentuk. Tentu semua sepakat, bahwa pelaku penciptaan dapat disebut sebagai kreator. Namun perlu juga dibatasi per tahap, yakni mengenai model awal (prototype), model massal, hingga ke inovasinya. Dimana ekonomi kreatif mempunyai koridor ekonomi sebagai salah satu fokus dampaknya.

Model awal tentu merupakan peran pelaku seni dengan kemampuannya untuk membuat visual yang menarik dan unik dengan tambahan kemampuan visionernya untuk menjadi bahan rancangan produk massal. Produk massal untuk karya seni inilah yang kemudian dilakukan oleh kalangan industri, disini akan dengan sendirinya lahir seleksi mengenai perhitungan kapitalisnya. Maka selanjutnya merupakan peran banyak pihak untuk melahirkan inovasi, saat melakukan inovasi inilah diperlukan kehadiran banyak elemen. Mulai dari pemerintah, pelaku kesenian, hingga pelaku industrinya. Ketiga pihak inilah yang menjadi ekosistem level pertamanya.

Hasil dari ekosistem level pertama ini kemudian harus melahirkan ekosistem berikutnya, yakni penjual (UMKM), pasar, hingga ke konsumen (masyarakat luas).

Ekosistem tersebut merupakan pondasi yang harus dikuatkan, baik secara personil (Sumber Daya Manusia) maupun secara kelembagaan. Dari titik ini maka terlihatlah bagaimana kondisi di Bojonegoro, ada yang perlu lebih dikuatkan karena sudah ada, bahkan ada yang perlu di akomodir karena belum terakomodir.

Lebih tajam lagi, yakni mengenai kearifan lokal. Yang dapat dimaknai dengan segala cipta, rasa, karsa masyarakat di wilayah Bojonegoro. Dalam konteks ekonomi adalah potensi, terutama potensi yang perlu dilestarikan yakni budaya lokal dan potensi lokal.

Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa terdapat batasan formal atas obyek yang harus dimajukan ini berkaitan dengan budaya, yakni: (1) Tradisi lisan; (2) Manuskrip; (3) Adat istiadat; (4) Ritus; (5) Pengetahuan tradisional;(6) Teknologi tradisional; (7) Seni; (8) Bahasa; (9) Permainan rakyat; dan (10) Olahraga tradisional. Pertanyaan sederhana mengenai 10 obyek tersebut adalah mana yang bisa berdampak ekonomi secara langsung ? Mana yang secara kreatif harus melibatkan ekosistem diatas agar dapat berdampak ekonomi ?

Dapat lebih dipertajam lagi formalitasnya, karena memang dalam ekosistem ini formalitas adalah sebuah keharusan. Yakni mengenai kearifan lokal Bojonegoro yang telah formal di tingkat pasar yang lebih luas. Sebutannya adalah Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), yang hingga 2023 ini telah ada 5 kearifan lokal Bojonegoro yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional: (1) Sandur Bojonegoro, (2) Wayang Thengul, (3) Ajaran Samin Surosentiko, (4) Adat Tawur Sego, dan (5) Ledre. Dan ada 7 yang dicatatkan secara formal di tingkat nasional: (1) Kerajinan Gerabah, (2) Pertunjukan Ketoprak, (3) Dalang Ruwatan, (4) Wayang Krucil, (5) Permainan Bekelan, (6) Masyarakat Samin, dan (7) Krupuk Bang Ijo.

Bila itu secara formal termasuk dalam semesta kebudayaan (disebut semesta karena merujuk pada diksi formal: segala sesuatu), maka harus dilakukan proses model awal. Kenapa proses model awal dilakukan pertama ? Karena peran pemerintah dalam hal formal untuk obyek-obyeknya telah dilakukan, namun tak melepas perannya di proses model awal.

Sayangnya, elemen pertama dalam hal ini secara formal justru dibatasi sendiri oleh pemerintah, yakni terbatas pada seni karawitan, seni reog, seni tari, dan seni ketoprak. Sehingga sejumlah kearifan lokal akan sulit menjadi bahan baku ekonomi kreatif. Bagaimanapun, peran pemerintah merupakan salah satu hal yang vital dalam ekosistem ini. Maka tak heran bila ekonomi kreatif yang terlihat adalah hal-hal yang justru tak berakar pada kearifan yang benar-benar lokal secara formal.

Dampak lainnya adalah pelestarian kesenian tradisional menjadi lemah, pemanfaatannya untuk ekonomi kreatif selalu terkendala. Yang tergambar secara ekstrim adalah merebaknya budaya baru dari luar. Mobile Legend jadi budaya dengan dalih e sport, musik-musik antah berantah lebih sering muncul, drama korea dan superhero mengalahkan cerita rakyat. Ini bukanlah narasi negatif, justru sebenarnya kita dapat meniru apa yang dilakukan orang luar untuk men diaspora kan kearifan lokal mereka. Bisakah ? Tentu ada kemampuan itu dan pra syarat formalnya sudah lengkap. Maukah ? Ini yang perlu mulai dilakukan, hanya mengenai goodwill saja.

*)Penulis adalah Ketua (ct) Dewan Kesenian Bojonegoro

No More Posts Available.

No more pages to load.