RIYA’ VERSUS IKHLAS (bagian ke ke lima)

oleh -
oleh

Oleh : H. Sholikhin Jamik

SuaraBojonegoro.com – Dalam kajian tulisan diatas orang yang mati syahid, hafidz Quran dan dermawan nanti di yaumul qisab justru pertama kali dilempar ke neraka karena ketika berbuat di dunia bukan karena Allah SWT tapi dalam hatinya yang muncul adalah sikap riya’. Agar kita terhindar dari sikap riya’, maka Dalam tulisan ini akan dibahas tentang definisi riya’, sebab-sebabnya, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya’ serta obat penyakit riya’. Mudah-mudahan penulis dan pembaca bisa terhidar dari perbuatan riya’
Dalam seri yang terakhir ini membahas tentang pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), maka hendaklah dia tetap melakukannya dan tidak seyogyanya ia meninggalkan kebiasaan itu hanya karena berada di tengah-tengah manusia. Hanya Allah-lah yang mengetahui rahasia hatinya, bahwa ia melaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berusaha agar selamat dari riya’ dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan,” kemudian beliau membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.
Selanjutnya beliau mengatakan, barangsiapa melarang sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan bahwa hal itu adalah riya’, maka larangannya itu tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut :
1.Amal yang disyariatkan tidak boleh dilarang hanya karena takut riya’. Bahkan diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Bila kita melihat seseorang yang mengerjakan suatu amal yang disyariatkan, kita harus menetapkan bahwa dia melakukannya (atau membiarkannya), kendatipun kita dapat memastikan ia berbuat dengan riya’. Seperti halnya orang-orang munafik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka :

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. [An- Nisaa/4:142].
Mereka (orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka tampakkan, meskipun mereka berbuat itu dengan riya’ dan tidak melarang perbuatan zhahir mereka. (Artinya, para sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal tersebut dengan riya’. Sebagaimana meninggalkan iman dan shalat lima waktu lebih besar bahayanya, dibanding dengan meninggalkan amal itu dengan riya’.
2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…

“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki (memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka”. [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu ‘anhu].
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.
3. Sesungguhnya membolehkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, justru akan membuka peluang kepada ahlus syirk wal fasad (orang yang berbuat syirik dan kerusakan) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berbuat baik). Apabila mereka melihat orang yang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah berbuat riya”. Lalu karena tuduhan ini, orang yang jujur dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan tuduhan mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.
4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi’ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“(Orang-orang munafik) yaitu orang -orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih”. [At-Taubah/9:79]. Selamat berjuang melawan sikap riya’ dan berjihad untuk bersikap ihlas.

*)Penulis : Dosen STIKES Muhammadiyah Bojonegoro Jatim.

No More Posts Available.

No more pages to load.