Opini Publik dan Reproduksi Hoax

oleh -
oleh
Ilustrasi: Andhika Akbarayansyah.

SUARABOJONEGORO.COM – Opini dipahami masyarakat sebagai pendapat atau anggapan. Makna tersebut tentu benar secara harafiah, yang diturunkan dari kata opinion(Inggris). Setiap orang juga merasa memiliki hak untuk beropini atas isu-isu tertentu. Pertanyaannya, apa dan bagaimana proses opini publik terbentuk? Apa hubungannya dengan reproduksi hoax?

Dalam masyarakat awam opini mewakili apa yang ia sepakati dari sebuah isu tanpa disadari. Ilustrasinya, seorang pejabat negara menurunkan sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut secara objektif memiliki dasar kepentingan umum. Masalahnya, kebijakan tersebut pada level tertentu mengakibatkan barisan oposisi mengkritiknya habis.

Melalui pelbagai media massa, para oposan melakukan kritik yang ofensif dan masif. Semua media dikerahkan hingga sampai pada orang atau masyarakat sebagai informasi yang tidak menyenangkan. Masyarakat pun bereaksi melalui media sosial dan menyebarkannya secara tidak utuh. Keadaan itu kemudian diterima sebagai opini publik. Bahwa kebijakan itu sungguh tidak merakyat. Masyarakat menerima informasi tersebut secara tidak proporsional. Ia terproyeksikan. Seolah tengah melihat benda menggunakan suryakanta yang membuatnya membesar pada satu titik.

Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion (1921) menuliskan, opini publik merupakan jalinan antara sedikit fakta yang dicampur imajinasi dan kemudian diyakini sebagai kebenaran atau realitas sesungguhnya. Opini publik melibatkan realitas yang tak sempurna dari sebuah keadaan seutuhnya. Lippman menyebut istilah ini sebagai stereotip. Suku Jawa adalah suku pemalas (misalnya). Stereotip ini mengambil sampel dari keadaan yang ditemui secara tidak sempurna. Pada tingkat lanjutan, ia menjadi anggapan atau opini secara umum. Fakta utuhnya, tentu saja, tidak semua orang (suku) Jawa pemalas.

Hoax

Opini Publik pada dasarnya kemudian berjalin erat dengan istilah yang tengah popular hoax. Robert Nares (1753-1829) menyebutkan istilah hoax muncul pada akhir abad ke-18 sebagai “menipu”. Dalam konteks permainan yang menyenangkan, hoax bisa ditemui dalam tradisi April Mop; seseorang melakukan tindakan penipuan untuk kepentingan menggoda dan humor. Namun, dalam konteks politik, hoax bertujuan untuk membuat lawan tenggelam dalam stigma yang menghancurkan posisinya.

Dalam jurnalisme modern, bentuk pengungkapan pendapat dibatasi oleh bobot argumen ilmiah. Hal demikian tentu untuk menjaga objektivitas kebenarannya. Meskipun begitu, bobot argumen yang dihadirkan terkadang juga dipengaruhi oleh berita yang hadir dalam masyarakat. Sementara, derajat berita sendiri memiliki tingkat akurasi yang berbeda sebagai sebuah kebenaran. Walter Lippman mengatakan, berita (straightnews) hanyalah rangkaian sejumlah fakta yang menandai peristiwa. Kita belum menemukan berita sebagai sebuah kebenaran, kecuali telah terverifikasi dan terbukti dalam sebuah proses investigasi.

Hadirnya berita dalam media kemudian membuka peluang berkembangnya tafsir dan opini publik yang bercampur hoax. Ketika seorang tokoh (misalnya) melakukan upaya pencitraan, maka ia memproduksi berita yang ter-framing. Ia menampilkan sudut tertentu agar terbentuk citra tertentu. Ia membuka sudut lain dan menutup sudut lainnya. Fakta utuh tak ditampilkan. Masyarakat kemudian tertipu oleh citra artifisial yang dihadirkan. Kondisi demikianlah yang pada dasarnya menuntut jurnalis harus memiliki disiplin verifikasi dan bersikap objektif.

Reproduksi hoax dan penyebarannya, tentu semua sudah mafhum bahwa semua bersumber dari ‘kekuatan besar’ dan media sosial yang disajikan secara terbuka dan bebas. Hadirnya jurnalisme warga yang tak berbekal kode moral dan skill jurnalistik, tak perlu dibantah –ia juga terlibat di dalam penyebaran hoax yang dikeluhkan oleh korban dan sekaligus penyebarnya sendiri. Opini publik dan hoax, maka, adalah semacam lingkaran setan. Ia akan sulit terputus dan terus menghantui.

Lantas, bagaimana solusinya? Pertanyaan naif ini sesungguhnya hanya merupakan hasrat utopia di dalam kondisi distopia. Karena sesungguhnya, hanya negaralah yang mampu mengontrol semua ini. Negara yang dimaksud tentu melibatkan unsur dalam trias-politika yang kita kenal. Ditambah pengawasan secara ketat oleh masyarakat sipil agar hasrat kekuasaan pemerintah tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk mereproduksi hoax demi sekedar mempertahankan kekuasaan. Sedangkan, masyarakat sendiri harus meningkatkan akses dan mutu informasinya. Apakah ini sebuah solusi? Jawabannya, sepertinya iya. Masalahnya, apakah efektif ? Belum tentu juga!

Ranang Aji SP penulis sastra dan pernah jadi wartawan.

*Sumber: detik.com

No More Posts Available.

No more pages to load.