Mengenal Lebih Dekat Sesosok Sastrawan Gol A Gong

oleh -
oleh
Reporter : Bima Rahmat

suarabojonegoro.com –  Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama Gol A Gong. Pria kelahiran Purwakarta, Jawa Barat, 15 Agustus 1963 dari pasangan Ayah Harris dan Ibu bernama Atisah. Bapaknya adalah seorang Guru Olahraga sedangkan ibunya seorang Guru di Sekolah keterampilan putri, Serang. Mereka tinggal di sebuah rumah di dekat alun-alun Serang. Sejarah nama Gol A Gong tersebut merupakan pemberian dari kedua Orang tuanya. Yang mengandung filosofi bahwasanya “kesuksesan itu semua berasal dari Tuhan”.

Kata Gol itu diberikan oleh ayahnya sebagai ungkapan syukur atas karyanya yang diterima penerbit. Serta Gong merupakan harapan dari ibunya agar tulisannya dapat menggema seperti bunyi alat musik gong. Sedangkan A diartikan sebagai “semua berasal dari Tuhan”. Maka, nama Gol A Gong dimaknai sebagai “kesuksesan itu semua berasal dari Tuhan”.

“Nama Gol A Gong itu dari kedua orang tua saya yang mengandung maksut “Kesuksesan itu semua berasal dari Tuhan”, katanya.

Pada usia 11 tahun Gol A Gong harus kehilqngan lengan kirinya. Hal ini dikarenakan pada saat dirinya dan teman-temannya sedang bermain di Taman Alun-Alun Serang. Saat itu dirinya sedang melihat beberapa Tentara yang sedang latihan terjun payung. Karena merasa tertarik dan merasa tertantang kemudian ia menantang teman-temannya untuk berujinyali dengan meloncat di pohon yang tinggi.

Barang siapa yang berani meloncat dari pohon yang lebih tinggi maka dialah yang nantinya menjadi pemimpin diantara teman-temannya yang lain. Dari kenekatannya tersebut ia mengalami kecelakaan serta harus kehilanggan lengan kirinya yang harus diamputasi. Namun hal tersebut tidak membuatnya putus asa, karena dorongan dari keduanya lah kini ia menjadi seorang sastrawan dan penulis yang cukup disegani.
                                                             
“Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang dan lupa bahwa diri kamu itu cacat”, ujarnya menirukan nasihat Bapaknya.

Pada umur 33 tahun, Gol A Gong menikah dengan Tias Tatanka, gadis cantik asal Solo. Dari pernikahannya tersebut kedua pasangan ini dikaruniai empat orang anak yakni Nabila Nurkhalisah (Bela), Gabriel Firmansyah (Abi), Jordi Alghifari (Odi), dan Natasha Azka Nursyamsa (Kaka). Bela yang saat ini kelas 2 di SMP Peradaban Serang (2012) meneruskan kiprah Ayahnya.

Novelnya yang tergabung dalam KKPK (kecil-kecil punya karya) Dar!Mizan laris manis di pasaran. Sementara Abi, di Kelas 1 SMP Al Mahah Al Ain, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sangat menyukai gambar sehingga kerap menjadi desain grafis sampul buku anak-anak di Rumah Dunia, sanggar yang didirikan Gol A Gong.

Pria berpenampilan rambut sebahu dan berpenampilan sederhana ini menuturkan bahwa ia mulai membuka perpustakaan keluarga untuk masyarakat pada tahun 1990-an, pada saat bersamaan dia juga merintis penerbitan tabloid bulanan berbasis komunitas, yaitu Banten Pos (1993) dan Meridian (2000).Dua tabloid itu hanya bertahan enam bulan.

 “Saya diancam petugas dengan pistol di atas meja jika tidak menghentikan penerbitan tabloid,” ujarnya.

Namun semua itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menyalakan perubahan melalui gerakan baca dan menulis. Selanjutnya pada bulan Maret 2002, perpustakaan yang sudah dibuka untuk umum sejak tahun 1990-an itu diberi nama Pustakaloka Rumah Dunia (PRD). Dia mengakui mendompleng akronim Partai Rakyat Demokratik (PRD).

“Ternyata langkah tersebut sangat dahsyat selling point (nilai jual)-nya walaupun gara-gara itu kami juga sempat dicap aktivis PRD betulan,” kata Gol A Gong.

Dengan dibantu Istri dan para relawannya, ia mengelola PRD dengan berbagai kegiatan “wisata”. Kemasan wisata pada setiap kegiatan PRD dimaksudkan agar kegiatan baca dan menulis tersebut dapat memikat anak-anak dan remaja. Wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, dan ada juga wisata lakon. Hal itu dipilih agar kesan serius sebuah perpustakaan berganti dengan kesan ramah dan kuat aroma bermainnya.

Awalnya, perpustakaan tersebut hanya memiliki berupa koleksi buku dan ada juga wisata lakon. Hal itu dipilih agar kesan serius sebuah perpustakaan berganti dengan kesan ramah dan kuat aroma bermainnya. Awalnya, perpustakaan tersebut hanya memiliki berupa koleksi buku yang ditumpuk pada satu rak sepatu di sebuah kebun terbuka.

Melalui Rumah Dunia inilah dirinya juga melakukan semacam gerakan dekonstruksi kultural dengan memberi makna baru pada kosakata lokal yang mengandung makna pejoratif. Salah satunya ada “jawara”. Dengan menggunakan kata tersebut sebagai nama toko buku, Kedai Buku Jawara, ia mencoba agar stigma “jawara” yang sering identik dengan kekerasan dan pemerasan berubah makna menjadi “gudang Ilmu”. “Saya ingin suatu ketika jika orang mencari kata ’jawara’ melalui Google, ia akan menemukan kata itu dengan arti “gudangnya ilmu”. Kami ingin karakter wong Banten yang keras diperkaya dengan wawasan dan smart”, pungkasnya. (Bim/red).

No More Posts Available.

No more pages to load.