Seniman dan Budayawan Bojonegoro Berduka

Reporter : Redaksi 

SuaraBojonegoro.com – Tersiar kabar mengenai meninggalnya Hardjo Kardi, membuat kalangan seniman dan budayawan di Bojonegoro berduka. “Kabarnya dari Mas Bambang, bahwa hari ini mbah Hardjo berpulang,” kata Suwandi, salah satu budayawan asal Kecamatan Purwosari yang kini menetap di Papua untuk menjalankan tugasnya. Mas Bambang adalah sebutan dari putra Hardjo Kardi.

Hardjo Kardi atau yang akrab disebut dengan nama Mbah Hardjo adalah tokoh utama masyarakat Samin di Bojonegoro. Tinggal di Dusun Jepang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo, mbah Hardjo dikenal sebagai pelestari ajaran Samin yang ditinggalkan oleh Samin Surosentiko. “Kami pernah mendatangkan mbah Hardjo dalam kegiatan Jagong Budaya pertama di kota. Tentu ini berita duka untuk kesenian dan kebudayaan di Bojonegoro khususnya,” kata Wahyu Subakdiono selaku Ketua Kelompok Kerja Kebudayaan Bojonegoro.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ramon Pareno, Ketua caretaker Dewan Kesenian Bojonegoro. Menurutnya, banyak hal yang diajarkan langsung oleh mbah Hardjo soal sejarah dan kebudayaan di Bojonegoro. “Pernah kami diajak berjalan kaki dari rumahnya untuk menunjukkan bagaiman secara manual melaras gong. Pernah juga beliau secara langsung mempraktikkan bagaimana masyarakat Samin menenun kapas untuk dijadikan pakaian, kami merasa kehilangan,” tambahnya.

Mbah Hardjo Kardi adalah putra ketiga dari empat bersaudara yang lahir pada tahun 1934. Merupakan anak dari Suro Kamidin pemimpin ke III gerakan Saminisme yang berasal dari Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, yang menikah dengan gadis asal Dusun Jepang yang bernama Poniyah pada tahun 1920- an, dan tinggal menetap di Dusun Jepang. Suro Kamidin memegang kepemimpinan pada masa peralihan pendudukan Belanda dan Jepang hingga pada masa kemerdekaan.

Baca Juga:  Komite Seni Rupa Gelar Muhibah ke Festival Kampung Salak Rengel

Pada tahun 1986, Suro Kamidin meninggal dunia dan kepemimpinan pejuang Samin di Dusun Jepang digantikan oleh anaknya, yakni Hardjo Kardi hingga saat ini. Semasa kecilnya, mbah Hardjo melewati masa penjajahan Jepang, di mana rakyat Indonesia mengalami masa sangat sulit, benar-benar larang sandhang maupun larang pangan atau mahal pakaian dan sulitnya makanan.

Banyak rakyat di desa- desa termasuk masyarakat yang berada di Dusun Jepang termasuk keluarganya Mbah Hardjo Kardi juga kelaparan, tidak bisa makan nasi meskipun sekedar nasi jagung ataupun makanan dari ubi-ubian. Bahkan pakaianpun hanya sekedar yang menempel di badan, tidak memiliki pakaian lain sebagai pengganti, bahkan ada yang memakai pakaian yang terbuat dari karung goni atau berasal dari jerami. Pada saat itu, banyak masyarakat yang mencari makanan aras atau umbi batang pisang, termasuk Mbah Hardjo Kardi.

Saat remaja, dirinya terbiasa melakukan pekerjaan apa saja, mulai dari bertani pada lahan basah, kering atau tegalan maupun beternak. Meskipun buta huruf, karena Mbah Hardjo Kardi dan saudara-saudaranya tidak mengenal pendidikan formal, namun memiliki etos kerja dan semangat untuk mengetahui sesuatu yang baru sangat tinggi.

Baca Juga:  Bale Parawangsa: Sudah Saatnya Dewan Kesenian Bojonegoro Lahir Kembali

Selain hal tersebut, Mbah Hardjo Kardi kalau bicara ceplas- ceplos.Saat peneliti berkunjung, beliau tampak mudah akrab, dan sangat familiar kepada siapapun. Selain itu, dirasakan begitu hangatnya sambutan yang diberikan dari keluarga beliau. Memperlakukan tamu sebagai seorang keluarga. Beliau melayani pertanyaan-pertanyaan dari siapapun yang meminta informasi dengan sabar, sangat baik, tanpa ada rasa jengkel, semua jawaban diberikan dengan lugas dan tegas.

Mbah Hardjo Kardi juga selalu menjaga dan mengajarkan ajaran dari para kepemimpinan Samin pendahulunya pada keluarga, anak keturunannya, dan para pengikut Samin. Walaupun dari anaknya ada yang menjadi PNS, dalam hal bertingkah laku misalnya, ia menekankan konsep yakni kejujuran, kebenaran, kebersamaan, dan kesederhanaan.

Hardjo Kardi menikah dengan Sidah yang dikaruniai 7 anak, 3 putra dan 4 putri dengan 12 cucu. Dari ketujuh anaknya tersebut, anak ke-2 yakni Rumini pada tahun 1997 pernah menjadi TKW di Taiwan selama 2 tahun, anak ke-3 Warsun menjadi pesuruh di SDN II Desa Margomulyo, anak ke-7 Bambang Sutrisna menjadi PNS di Kecamatan Margomulyo. Dari cucunya ada yang menjadi Polisi dan TNI. (Red/SB)