Samudi : Hampir 5 Tahun Ini Tidak Ada Demokrasi Di Bojonegoro

Reporter : Bima Rahmat

Melalui proses demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) 2024, Kepala Desa Kepohkidul Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Samudi, tidak banyak berharap. Terkecuali siapapun nantinya yang menjadi bupati dan wakil bupati mempunyai komitmen yang kuat terhadap perubahan di Bojonegoro. Selasa (05/11/24).

“5 tahun yang lalu hampir tidak ada demokrasi di Bojonegoro,” katanya saat mengisi dialog di kanal YouTube Dewan Jingkrak dengan tema “Harapan Rakyat Dari Pilkada”.

Pernyataan tersebut ia sampaikan berdasarkan apa yang dirasakan sejak 5 tahun kepemimpinan mantan bupati bojonegoro Anna Muawanah. Yang mana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai mandul dan banyak ketakutan.

“Sehingga pikiran-pikiran baik dan yang terbaik dari putra-putra bojonegoro waktu itu tidak muncul ke permukaan,” ujarnya.

Sehingga sebagai seorang Kepala Desa (Kades) dirinya berharap paska Pilkada 2024 ini mampu melahirkan seorang pimpinan yang betul-betul seorang pemimpin seperti yang disampaikan oleh Hasto Broto. Yakni seorang pemimpin yang bisa menjadi matahari, menjadi bulan, menjadi air, menjadi angin dan lain sebagainya.

Baca Juga:  PILKADA, PEMILIH PEMULA DAN PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA

Dalam kesempatan ini Samudi juga menyinggung terkait dengan Pendapat Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bojonegoro yang kecil. Sampai saat ini kabupaten bojonegoro belum menemukan sosok bupati yang kreatif, yang dapat meningkatkan PAD Kabupaten Bojonegoro, selain dari pajak.

“Ketika kita covid saja PBB kita naik. Apalagi saya sudah sampaikan juga melalui media juga jika pemerintah Bojonegoro tidak mempunyai kepekaan sosial,” tuturnya.

Samudi memberikan contoh diluar Kabupaten Bojonegoro yangmana dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) bebas pajak. Hal ini berbeda dengan yang ada di kabupaten bojonegoro yangmana pajak tidak dihilangkan tapi menjadi pajak terhutang. Sehingga ketika ada pengalihan tanah warga harus membayar pajak dobel.

“Ini sangat-sangat merugikan rakyat tentunya,” tegasnya.

Meski dirinya tidak lagi percaya dengan demokrasi saat ini, namun dirinya masih punya sedikit harapan agar ada kepekaan sosial kepada bupati yang terpilih nantinya. Lebih jauh pria dengan khas kepala plontos ini mengaku tidak percaya dengan program-program dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Netralitas Kepala Desa dan ASN di Pilkada: Pilar Utama Penjaga Integritas Demokrasi

“Boleh lah debat harus menyentuh ini itu dan lain sebagainya. Bagi saya saat ini debat atau program apapun sudah tidak penting ketika integritas sudah tidak ada,” imbuhnya.

Untuk kedepannya Samudi berharap agar tidak ada lagi aturan-aturan atau regulasi yang ada hanya dijadikan sebagai kertas saja. Misalnya kita tahu di setiap desa, lanjutnya, ada MusrembangDes. Hasil dari MusrembangDes antara RT,RW, dan tokoh masyarakat selanjutnya dibawa ke MusrembangCam dan berlanjut ke Musbang Kabupaten. Meskipun Musrembang mulai di tingkat desa berjalan akan tetapi saat sampai di kabupaten sudah tidak lagi menjadi bahan pertimbangan.

“Sehingga yang muncul adalah take down. Seperti yang kita tahu, BKD ini program yang betul-betul hampir bisa dikatakan paksaan. Misalnya masyarakat butuhnya jembatan tapi malah dikasih jalan. Dampaknya apa? Ya, nggak kena,” pungkasnya. (Bim/red).