REFLEKSI SUMPAH, PEMUDA MEMBANGUN KESADARAN PANCASILA PADA GENERASI BANGSA

SAID EDY WIBOWO *)

Sumpah pemuda yang biasa diikrarkan di setiap Bulan Oktober pada saat upacara memperingati hari sumpah pemuda, sekarang mengalami berbagai penyesuaian bahasa terutama pada ejaannya, namun isi dan maksudnya tetap sama yaitu memberikan penekanan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa yang satu yaitu Indonesia. Bait sumpah yang dikumandangkan oleh generasi muda indonesia kala itu, tepatnya pada kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, dapat dikatakan tidak mempunyai naskah otentik, yang ada adalah naskah otentik Poetoesan congres pemoeda-pemoeda indonesia. Putusan kongres itulah yang mengalami rekontruksi simbolik menjadi sumpah pemuda, yang kemudian kita anggap  sebagai kebangkitan nasional. Pada kongres pemuda II tanggal 28 oktober 1928 itu pulalah diperdengarkan untuk pertama kalinya lagu indonesia Raya setelah Wr. Supratman memberanikan diri menggesekkan biola untuk mengiringi sekumpulan paduan suara yang bersemangat. Sangat terasa dalam hati sanubari kita bahwa putusan kongres yang akhirnya mengalami rekontruksi simbol itu dimaksudkan untuk memotivasi, meningkatkan rasa memiliki, meningkatkan rasa kebangsaan dan nasionalisme pada generasi bangsa. Namun, terasa juga bahwa semakin lama sumpah pemuda diperlakukan tak ubahnya sebagai simbol semata. Ketika globalisasi merajalela, tak sadar, kita menyerahkan sesuatu milik kita dan kembali mengalami penjajahan dengan gaya yang berbeda. Mengambil contoh akan peristiwa sumpah pemuda, pada saat itu mereka (para pemuda) berkumpul untuk menentukan satu sikap yaitu satu kesatuan dan melupakan ego kedaerahan demi tercapainya cita-cita bersama, yakni terlepas dari penjajahan. Momentum itu menjadi penanda bahwa bangsa indonesia telah menyepakati persatuan dalam perbedaan.

Perlu dimahfumi bahwa untuk menyatukan latar belakang sosial budaya yang berbeda, menyatu dalam satu visi menuju kebangsaan yang sama itu bukanlah persoalan mudah. Sangat mungkin akan selalu terjadi gesekan, benturan satu sama lain. Sejarah telah menceritakan tidak sedikit orang yang berkeinginan menjadikan bangsa ini berpaham sosialis atau berdasar syari’at agama islam atau bahkan liberal. Walaupun akhirnya konsensus di luar paham itu yang diterima adalah Pancasila. Setelah sekian lama merdeka dan menetapkan pancasila sebagai dasar negara, dan mempertahankan kebhinekaan selalu mendapat tantangan, baik tantangan dari luar maupun dari dalam. Terorisme adalah contoh nyata bagaimana paham transnasional begitu leluasa masuk kedalam sendi kebangsaan kita. Selain itu, juga ada organisasi dalam negeri kita yang tidak mau mengakui pancasila sebagai ideologinya. Mereka berpaham ideologi yang sama sekali berbeda dengan pancasila. Misalnya sering kita mendengar atau melihat ada sekolah-sekolah yang tidak mau mengibarkan bendera merah putih. Sungguh ini adalah kejadian yang menyedihkan dan mengancam keutuhan dan kedaulatan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Bukankah itu bagian dari ancaman? Pancasila adalah ideologi, yang berarti pancasila sama dengan indonesia dan indonesia sama dengan pancasila. Anehnya, paham itu justru tumbuh subur di tengah genta demokrasi kita yang sedang menggema.

Pancasila di era orde baru memang seolah menjadi doktrin mujarab untuk kebenaran mutlak, dan akhirnya pancasila selama 13 tahun terakhir tergerus oleh infiltrasi ideologi impor yang mulai dikembangkan menjadi ideologi kelompok yang bercita-cita membangun kontruksi negara dengan wajah ideologi baru di masa depan, apabila mereka memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan. Pada ranah masyarakat politik berkembang pula paham ideologi beragam, yang didesain untuk bisa menggantikan pancasila sebagai ideologi nasional. Paham ideologi tersebut antara lain: transnasionalisme agama dan kekuatan berhaluan kiri yang memakai jubah gerakan demokrasi radikal yang kita tahu meski minoritas sebenarnya masih memiliki basis sejarah yang pernah menjadi kekuatan politik signifikan di negeri ini.

Tekanan dari masyarakat politik terhadap eksistensi Pancasila, ternyata dibiarkan oleh negara. Negara (kekuasaan), cenderung membiarkan ideologi lain hidup dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat. Pancasila tidak dianggap sebagai pandangan hidup masyarakat dan pemerintah. Justru dianggap sekedar sebagai “ dasar” negara yang tidak memiliki kekuatan filsafati mempengaruhi pandangan hidup bangsa. Pancasila tidak lagi ditempatkan sebagai prinsip hidup bernegara. Di dalam ranah politik pancasila yang masih digunakan sebagai asas partai politik justru pengamalannya dikhianati oleh para pelaku politik yang duduk di singgasana kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif.

Mari bersama-sama kita tengok berbagai peristiwa yang akhir-akhir ini mencengangkan kita adalah tawuran antar pelajar, dengan mahasiswa dan bahkan siswa SMP pun telah mempunyai perilaku yang tidak mencerminkan landasan ber-Pancasila karena kurikulum Mata pelajaran yang pada waktu itu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diganti Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn.) Itu adalah bentuk-bentuk pengkerdilan nilai pancasila yang mestinya harus kita bendung bersama. Pangamalan eka prasetya panca karsa, meski diakui sebagai produk quo tetapi kalau kita amati banyak nilai baiknya, mengapa harus bimbang dan ditinggalkan? Kita sekarang harus bisa lebih realistis, degradasi moral dari usia anak sampai usia senja sudah sangat memprihatinkan. Bukankah kita bisa saja mengajarkannya tanpa harus mempermasalahkan itu produk siapa? Bukankah kita seharusnya bisa menilai manfaatnya bukan dari segi kesalahan rezim dimana konsep itu ditumbuhkan yang penting implementasinya agar bisa diimplikasikan oleh setiap individu dalam setiap sistem sosial
Pancasila Sebagai basis negara Indonesia.

Sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan kita semua. Jika Pancasila diabaikan nantinya akan meruntuhkan sendi dasar kontruksi kenegaraan. Republik yang dibangun di atas kebhinekaan, dengan landasan Pancasila akan runtuh jika generasi bangsa terlena dan terbuai oleh paham-paham sesaat. Untuk itulah sesungguhnya kaum muda perlu ikut serta dalam upaya untuk membangun state’s charakter atau kerakter negara yang mencerminkan nilai-nilai pancasila dengan mereaktualisasi nilai pancasila dengan mengedepankan beberapa prinsip pokok yang harus dijadikan landasan bergerak dari manifestasi nilai pancasila: Pertama: prinsip spiritual.

Pancasila jelas mengandung nilai spiritual yang berlaku di banyak tempat, dan secara nasional yang begitu beragam (bhineka) dapat hidup bersama (tunggal ika) yang termaktub dalam sila pertama Pancasila yang berarti adalah Tuhan Yang Maha Esa; Kedu:, prinsip universal. Pancasila sebagai unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukan persamaan dan karena itu sangat besar peluangnya untuk diterima sebagai unsur yang dapat memperkaya dan menstimulan perkembangan kebudayaan; Ketiga: prinsip relevansi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pancasila harus mempunyai kegunaan praktis dalam masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media sosial untuk memperlancar interaksi sosial lintas lingkungan, lintas agama dalam kerangka persatuan; Keempat: prinsip kemajuan.

Ini juga diartikan sebagai unsur yang membuka peluang atau memperlancar kreativitas masyarakat untuk mengembangkan penemuan menuju kemajuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, puncaknya tidak menutup kemungkinan dapat mengadopsi budaya asing, dengan cacatan tidak menghilangkan alur budaya kita sendiri; Kelima: prinsip kesetaraan. UUD 1945 juga telah menekankan arti semangat kesetaraan di samping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimana tercermin tentang arah kemajuan yang harus di tempuh, yaitu kemajuan budaya dan persatuan bangsa. Peleburan masyarakat majemuk menjadi satu bangsa yang beradab tidak mungkin terlaksana tanpa pengakuan dan penghormatan kesetaraan dalam Bhineka tunggal ika. Dengan reaktualisasi pancasila inilah kiranya bangsa ini akan kembali memperoleh kekuatan ideologi yang dapat memecahkan persoalan kebangsaan. Generasi muda serta seluruh elemen komponen bangsa harus satu komitmen bahwa: Pancasila adalah harga mati, yang harus dilanggengkan dan diamalkan untuk kemajuan bangsa!
   

 *) Penulis Guru di MAN Padangan dan Pegiat Pramuka Bojonegoro
       

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *