GUSDURIAN: Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia

SUARABOJONEGORO.COM – Yogyakarta, (12/8/18). Selama tiga hari, 10-12 Agustus 2018, saya berada di tengah-tengah tunas Gusdurians se-Indonesia, plus Gusdurian dari beberapa negara. Sekitar 700an anak-anak muda hadir dalam acara Temu Nasional (Tunas) Penggerak Gusdurian di Yogyakarta. Mereka datang dengan biaya sendiri. Sebagian dari mereka, menabung sejak lama untuk bisa hadir di Tunas ini.

Saya yakin kehadiran mereka berbiaya sendiri ini, karena kecintaan dan komitmen mereka terhadap 9 nilai Gus Dur, perjuangannya, dan semangat meneruskan gerakan besar yang telah dirintis Gus Dur. Gerakan Gus Dur adalah gerakan kemanusiaan, gerakan keadilan, dan gerakan demokrasi. Meski ada irisan yang sama, pembeda gerakan Gus Dur dengan gerakan yang dimotori tokoh lain adalah titik berangkat Gus Dur dari spiritualitas tauhid.

Pada kegiatan Tunas Penggerak Gusdurian 2018 ini, saya dan Nur Kholik Ridwan ditugasi Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian, Ning Alissa Wahid, untuk menjadi host forum Pribumisasi Islam a la Gus Dur. Hadir dalam forum ini sahabat dan murid Gus Dur, yakni KH Husein Muhammad, KH M. Jadul Maula, Dr. Ngatawi al-Zastrouw, Dr. M. Yasir Alimi, Ny. Dr. Nur Rofi’ah, dan sekitar 60an penggerak Gusdurian dari berbagai daerah.

Dalam forum itu, saya mengatakan bahwa pribumisasi Islam adalah pemikiran Gus Dur yang brilliyan dan relevan sepanjang masa. Karena relasi agama dan budaya, yang menjadi inti diskursus dalam pribumisasi Islam, akan selalu terjadi sepanjang agama dipraktikkan dalam bingkai kehidupan manusia. Pemikiran ini ditulis Gus Dur pada medio akhir 1980an.

Saya menangkap penjelasan pribumisasi Islam yang ditulis Gus Dur adalah semacam kerangka berpikir (manhajul fikr) sekaligus juga kerangka penerapan (manhajut tathbiq) ajaran Islam yang bersumber dari wahyu dalam kehidupan nyata yang telah hidup sebelumnya tradisi yang berbeda dengan tradisi saat ajaran Islam turun. Alias, tradisi dan budaya Arab. Sebagian orang tidak bisa membedakan antara ajaran dan budaya, sehingga ketika menerapkan suatu ajaran sekaligus budaya Arabnya, sehingga terjadi Arabisasi. Padahal Arabisasi belum tentu cocok dan diterima oleh kebudayaan setempat. Akibatnya, terjadi konflik kebudayaan. Tentu ini tidak dikehendaki oleh ajaran Islam yang berkarakter sholihun li kulli zamanin wa makanin (cocok untuk semua ruang dan waktu). Nah, agar sholihun diperlukan manhaj pribumisasi.

Gus Dur menegaskan bahwa pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma agama demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah.

Gus Dur mencontohkan pribumisasi Islam yang telah dilakukan oleh para ulama zaman dulu, yaitu zakat fitrah. Ajarannya, zakat fitrah harus ditunaikan dengan korma kering (tamr) atau gandum (sya’ir). Sementara korma dan gandum tidak ada di Indonesia. Tidak bisa dipahami bahwa untuk menunaikan ajaran zakat fitrah, semua orang Islam Indonesia yang jumlahnya 200an juta harus import korma dan gandum. Ajaran ini dipribumisasikan melalui perangkat ushul fiqh yang disebut qiyas (nalar analogi). Dinalar, mengapa Islam mewajibkan zakat fitrah dengan korma atau gandum, bukan yang lain. Ternyata ratio legis (‘illatul hukm) adalah karena korma dan gandum adalah quutul balad (makanan pokok penduduk setempat). Oleh karena makanan pokok, maka zakat fitrah orang Indonesia bisa ditunaikan dengan beras sebagai makanan pokoknya. Ini adalah contoh pribumisasi Islam. Jika kita memaksakan harus dengan korma atau gandum, maka berarti terjadi Arabisasi, yakni menggunakan instrumen ajaran agama untuk memaksakan budaya Arab (makanan pokok orang Arab) ke dalam budaya Indonesia.

Jelaslah, Gus Dur menegaskan bahwa pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.” Pun pula bukan anti Arab, melainkan menghindari Arabisasi. Gus Dur menjelaskan bahwa bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah atau juga budaya-budaya luar lain adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan kita sebagai orang Islam Indonesia.

Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur adalah manifesto Islam Nusantara yang akhir-akhir ini digelorakan NU. (*)

Penulis : Marzuki Wahid

*Sumber: gusdurian.net