SUARABOJONEGORO.COM – Pengelolaan pertanian secara konvensional yang dilakukan selama ini menjadikan minat warga Bojonegoro usia produktif bekerja di bidang pertanian sangat rendah. Mereka lebih memilih bekerja di pabrikan di luar daerah dengan penghasilan pasti setiap bulannya.
Realitas inilah yang ditangkap pasangan calon bupati (Cabup) dan wakil bupati (Cawbaub), Soehadi Moeljono dan Mitroatin, untuk melakukan transformasi secara struktural dalam mengelola sektor pertanian, agar melahirkan industri manufaktur yang dapat membuka lapangan kerja. Skema ini sekaligus meningkatkan nilai ekonomi komoditas pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan.
Bagi Sudiro (30), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, bekerja di sektor pertanian dinilai ketinggalan zaman, karena harus bergelut dengan peralatan seperti cangkul, kerbau, dan ani-ani (alat pemetik padi tradisional), serta alat pertanian lainnya yang asing bagi pemuda sepertinya.
“Meskipun pakai alat modern sekalipun seperti traktor, tetap saja berlumuran lumpur dan kotor,” ujar pria lulusan D3 Tekhnik Elektro dari perguruan tinggi di Surabaya ini kepada wartawan, Selasa (15/5/2018).
Menjadi anak seorang petani, bukan berarti harus meneruskan pekerjaan sang ayah. Sering kali dia melihat bapak ibunya meratap ketika panen raya harga gabah justru jatuh.
“Jadi ya enggan jadi petani,” tandas pria yang masih mencari pekerjaan.
Selama ini di wilayahnya belum ada pengelolaan hasil pertanian berupa padi. Para petani langsung menjual panennya kepada para tengkulak.
Diakui, jika di Bojonegoro terdapat industri manufaktur dipastikan akan dapat mengolah hasil-hasil produksi pertanian, dan akan sangat berpeluang membuka usaha. Termasuk juga menciptakan lowongan pekerjaan baru.
“Tentu petani seperti orang tua saya juga pasti akan mendapatkan nilai tambah dari produksi itu,” imbuhnya.
Dari pengetahuan yang didapat selama ini memang ada inovasi teknologi sebagai pendukung komoditas padi dan jagung hingga proses, dan produk pasca panennya.
Hasil inovasi teknologi tersebut antara lain mesin penepung, mesin pengayak tepung, beberapa varietas padi dan jagung, hasil olahan berbahan dasar jagung mulai dari produk konsumsi hingga bioetanol. Ada juga beberapa hasil olahan limbah pertanian padi dan jagung, seperti briket arang sekam padi dan biofoam dari ampok jagung.
“Harusnya ini yang dirangsang Pemkab kepada pemuda, bagaimana agar mereka memahami inovasi-inovasi teknologi tersebut,” sarannya.
Dirinya berharap bupati terpilih mendatang, bisa menyiapkan inovasi tekhnologi dalam membangun industri manufaktur, supaya bisa meningkatkan kesejahteraan petani, dan membuka lapangan pekerjaan.
Sementara Nurlita Fatma (25), warga Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, mengungkapkan, di desanya sebagian besar merupakan wilayah pertanian. Selain padi, ada juga jagung maupun komoditas lainnya yang ditanam petani sepanjang tahun.
“Hanya saja, setelah panen langsung dijual tanpa diolah terlebih dahulu,” kata perempuan berhijab ini dikonfirmasi terpisah.
Para pemuda dan pemudi di tempat kelahirannya belum ada satupun yang menjadi petani, meski orang tua mereka adalah petani. Alasannya bertani dianggap pekerjaan berat, memakan waktu, dan membutuhkan pengorbanan.
“Setahu saya, pemuda di sini inginnya bekerja instan dan langsung dapat gaji bulanan,” imbuhnya.
Impian tersebut belum terwujud karena skill (keterampilan) yang dimiliki, belum memadai untuk mendapatkan pekerjaan dengan posisi mapan di kantoran. Selama ini mayoritas pemuda memilih bekerja di luar Bojonegoro untuk mendapat gaji bulanan.
“Ada juga yang masih menganggur, termasuk saya,” ucapnya.
Oleh karena itu, dirinya sangat mendukung jika di Bojonegoro dibangun industri manufaktur, karena akan membuka kesempatan bagi pemuda untuk mendapatkan pekerjaan.
“Ini akan mampu mengurangi pengangguran,” tegasnya.
Dia harapkan bupati terpilih mendatang bisa memberikan pelatihan dan pendampingan terlebih dahulu, jika akan membangun industri manufaktur berupa pabrik pengolahan hasil pertanian.
“Akan jadi ladang rejeki kalau memang terwujud,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Cabup Soehadi Moeljono, menyatakan, bidang pertanian merupakan potensi Bojonegoro yang perlu dikelola secara optimal. Salah satunya dengan melakukan transformasi secara struktural untuk mempercepat pembangunan industri jasa, dan manufaktur yang dapat meningkatkan nilai ekonomi komoditas pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan.
“Industri ini akan menciptakan lapangan pekerjaan dalam jangka waktu panjang, karena produksi pertanian tidak akan pernah habis dan akan selalu ada,” tegas Pak Mul.
Untuk mendukung industri manufaktur ini, lanjut dia, sektor pertanian harus maksimalkan. Caranya melakukan percepatan pembangunan waduk Gongseng, beserta jaringan sarana irigasi persawahan di wilayah selatan Bojonegoro, dan jaminan ketersediaan pupuk bagi petani.
Menurut Pak Mul, PDRB Bojonegoro tahun 2016 lalu sebesar Rp52 triliun. Sebanyak 40 persen atau sekitar Rp20 triliun dari sektor migas, dan 20 persen atau Rp10 triliun dari sektor pertanian, dengan serapan angkatan kerja 10 ribu orang di sektor migas, dan 450 ribu orang angkatan kerja di sektor pertanian.
“Jika sektor pertanian ini kita optimalkan tentu akan membuka sedikitnya 450 ribu lapangan pekerjaan baru,” pungkas Cabup yang berpasangan dengan Kader NU ini. [lis]