SUARABOJONEGORO.COM – Nuansa Perayaan Agustusan dalam Rangka HUT RI Ke 73, diberbagai Desa dan wilayah menyelanggaran perayaan dengan berbagai kegiatan, berbagai makna dalam tema kegiatan, terutama kegiatan Karnaval.
Tidak ingin melewatkan kesempatan dalam acara karnaval dalam rangka HUT RI yang ke 73, Di Kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro, kelompok Remaja Desa Bareng yang juga tergabung dalam Karang Taruna menyuguhkan cerita tentang berdirinya Desa mereka dan disampaikan dalam Karnaval sebagai bentuk cerita.
Penulis dan Pemuda Desa Bareng yang Kreatif ini berharap kisah legenda tentang Desa mereka yang disuguhkan melalui karnaval bisa menjadi inspirasi bagi Desa lain untuk menggali sejarah tentang berdirinya desa Mereka.
Team kreatif kali ini mengusung Tema ” LEGENDA BOLOSENTONO NOGO KIKHEK.”
Dengan Semboyan keramat
“Ati nyawiji tekat greret, nyonggo pakerten deso Bareng sansoyo wimbuh wibowo lan gegirisi.”
Dikisahkan bahwa Jauh sebelum kemerdekaan RI yang ke 73, dikisahkan ada sebuah wilayah sangat subur dan strategis, wilayah itu bernama Banjaransari. Kelak wilayah tersebut menjadi Desa Bareng, yang memiliki luas 2.040,385 Ha, Mencakup dukuhan Gebangkerep, Makul, Pencol Lor, Kembangan, Margosono, dan Bareng sebagai Krajan.
Dizaman itu Desa Bareng Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro , yang masih bernama Banjaransari merupakan tanah tak bertuan, Karena kesuburanya sudah tersohor seantero jagad, kemudian banyak sekali yang ingin menguasai wilayah Banjaransari. Tanpa terkecuali Ki Trincing Wesi dan Nogo Kikhek.
Suatu ketika penguasa Pandansili bertempat di daerah pegunungan kendeng, mencakup lencong santri dan joko proyo yang bernama Ki Trincing Wesi ingin melebarkan wilayahnya ke arah utara, tepatnya daerah Banjaransari. Untuk menunjukan keperkasaanya, rencana pun sudah dipersiapkan dan diperhitungkan dengan matang.
Mulai dari prajurit, strategi perang, bahkan resiko yang akan dihadapi telah tersusun rapi. Namun mendengar berita itu, Nogo Kikhek yang menguasai wilayah Gebangkerep, yang mencakup daerah Banjardowo, Pencol lor dan etan, Margosono, Muneng Kembangan, tidak tinggal diam.
Detik itu juga Nogo Kikhek mempersiapkan pasukan yang terkenal keganasan dan kemahiranya dalam berperang, pasukan itu bernama Bolosentono Nogo Khikek.
Hari itu tepat di daerah Kramatjati yang saat ini menjadi pepunden penduduk setempat, terdengar degung tapak-tapak kaki juga bisikan lirih senjata semakin bising. Hingga kedua pasukan perang saling berhadapan. Perangpun tak terelakkan, pertumpahan darah pasukan tak terbendung, siang malam perang tak terhentikan, bagai berjalan di dalam lorong gelap tak berujung.
Melihat peperangan yang begitu dasyat dan banyak memakan korban, Ki Trincing Wesi juga Nogo Khikek menyudahi perang dan menarik pasukanya masing-masing. Kemudian keduanya melakukan mediasi dengan duduk bersama, berbicara perihal kirana berlaksa makna.
Tidak ingin melakukan perang lagi dan merugi, hingga menjadi seperti debu di ufuk jari yang hanya dengan sekali tiup langsung hilang. Akhirnya Ki Trincing Wesi dan Nogo Kikhek sepakat untuk menikmati butir-butir manis itu pada meja yang sama, sepenuhnya tanpa adanya jarak dan sesal. Hingga menjadi sebuah Desa, yang bernama Bareng. (*)
*) Legenda ini di himpun dari cerita para sesepuh desa Oleh Karang Taruna Desa Bareng
*) Pengirim: Bani (Maspong)