Meremehkan Kejahatan Korupsi

SUARABOJONEGORO.COM – Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ada masalah penting yang perlu dibereskan dulu: konsekuensi dari masuknya delik korupsi ke Rancangan KUHP. Kodifikasi hukum ini menurunkan derajat korupsi menjadi pelanggaran kriminal biasa. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi pun terancam tergerus.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelas menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Inilah yang menjadi dasar ancaman hukuman berat dan denda besar. Ada pula aturan uang pengganti yang bertujuan menyelamatkan uang negara sekaligus memiskinkan pelaku. Keberadaan KPK pun ditopang pemahaman bahwa kejahatan keji ini perlu ditangani serius oleh lembaga yang memiliki wewenang besar.

Semangat yang tersirat ataupun tersurat dalam Rancangan KUHP yang akan disahkan DPR pada Agustus mendatang sungguh berbeda. Korupsi terkesan sebagai kejahatan sepele. Ancaman hukumannya pun tidak seberat yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Rancangan KUHP bahkan tidak memuat hukuman pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Wajar jika pimpinan KPK dan para aktivis antikorupsi memprotes keras rancangan itu.
Ads by Kiosked

Baca Juga:  KPK Gelar Kuliah Umum di Unigoro, Untuk Spirit Antikorupsi

Para koruptor juga akan bersorak lantaran ada pembatasan hukuman kumulatif. Jumlah hukuman dari sejumlah kasus tidak boleh melebihi ancaman hukuman maksimal. Ada juga aturan yang mengurangi ancaman pidana sebesar sepertiga hukuman maksimal terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. Semua aturan ini berbeda dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Pengaturan ganda itu bisa mengacaukan hukum. Dalam peradilan kasus korupsi akan muncul perdebatan: aturan mana yang akan dipakai. Hal ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan hukuman lebih ringan jika hakim berpegang pada KUHP. Kendati Undang-Undang Pemberantasan Korupsi selama ini merupakan aturan khusus atau lex specialis, keistimewaan itu bisa lenyap karena semua aturan korupsi sudah masuk KUHP. Apalagi dalam hukum juga ada asas lex posterior derogat legi priori. Hukum yang baru mengalahkan hukum lama.

Masalah lain yang tak kalah penting, posisi KPK tidak disebutkan dalam Rancangan KUHP itu. Ini yang mengundang kecurigaan bahwa cepat atau lambat kasus korupsi akan beralih ditangani polisi dan jaksa, seperti yang diharapkan kalangan DPR selama ini. Indikasinya pun sudah ada. Rancangan KUHP itu telah memuat aturan korupsi di sektor swasta. Kejahatan ini terkesan hanya akan ditangani polisi dan jaksa karena penyidik KPK tidak disebutkan. Sementara itu, selama ini, belum ada aturan yang memberi KPK wewenang menangani korupsi sektor swasta.

Baca Juga:  Taufiq Ismail dan D. Zawawi Imron Baca Puisi Antikorupsi

DPR dan pemerintah perlu kembali ke tujuan sejati dari kodifikasi hukum, yakni membuat hukum lebih simpel dan sistematis. Kodifikasi seharusnya mempermudah orang memahami aturan hukum dan bukannya menciptakan masalah baru. Rancangan KUHP sebaiknya hanya memuat prinsip-prinsip penting delik korupsi agar tidak menimbulkan dualisme hukum.

Presiden Joko Widodo seharusnya segera bersikap terhadap Rancangan KUHP yang berpotensi memperlemah upaya memerangi korupsi itu. Pemerintah sebaiknya menolak pengesahan Rancangan KUHP. Para koruptor selama ini tak pernah jeri kendati diancam hukuman berat. Korupsi akan makin merajalela jika ancaman hukuman diperingan seperti diatur dalam Rancangan KUHP. (red)

Sumber: Tempo.co