Rindu Pejabat Peka Rakyat

SUARABOJONEGORO.COM – Lini masa media sosial penuh dengan ungkapan kecewa masyarakat akan pernyataan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, tentang harga beras. Memang, pemerintah sudah menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras jenis medium di Pulau Jawa, Lampung, Sumatera Selatan yaitu Rp 9.450 per kg, dan Rp 12.800 per kg untuk premium yang harus direalisasikan pada April 2018.

Namun, harga ini bagi sebagian besar rakyat masih dirasakan mahal. Karena bagaimana pun, saat ini yang mengalami kenaikan harga bukan hanya komoditi beras. Tapi, juga bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya. Sebutlah diantaranya gula pasir, garam, sayur-sayuran, juga bahan lauk-pauk. Di samping adanya efek domino kenaikan harga BBM akhir Maret lalu. Mau tak mau, turut menambah harga komoditi lainnya, khususnya bahan pangan.

Masalahnya, mendag kurang tepat merespons keluhan rakyat yang tengah terjepit oleh kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok selain beras tersebut. Ini, tampak ketika mendag berusaha mengonfirmasi mengenai belum terealisasinya HET beras. Mendag mengatakan, pedagang terkadang memberikan harga yang lebih mahal atau di atas harga normal sebagai strategi dagang, namun pembeli seharusnya lebih jeli dan bisa menawar harga beras yang sudah disesuaikan oleh pemerintah.

Wajar jika kemudian publik terkesan reaktif menilai pernyataan mendag. Karena sebelumnya mendag pun pernah menyatakan pernyataan serupa, yakni ketika harga cabai sedang mahal. Masih jelas dalam benak rakyat, saat itu Mendag menyatakan agar rakyat menanam cabai sendiri untuk mengatasi harga cabai yang mahal. Tak syak, rakyat pun makin sakit hati.

Baca Juga:  UU KPK Batal Berubah Menjadi RKUHP, Ini Beberapa Padal Yang Membuat Mahasiswa Marah

Fatalnya, pejabat lain yang setipe mendag juga ada. Dalam peristiwa yang sama ketika harga beras sedang mahal beberapa waktu sebelumnya, ada seorang menteri yang menyarankan agar rakyat diet saja. Kemudian ketika harga daging sedang mahal, ada seorang menteri yang menganjurkan agar rakyat makan keong sawah sebagai pengganti daging. Ketika tarif listrik naik, ada pejabat yang menyarankan rakyat mencabut meteran listrik saja.

Juga ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim, bahwa seseorang yang berpenghasilan Rp 11 ribu per hari atau setara Rp 332.119 per bulan adalah orang yang dikategorikan tidak miskin. Baru dikatakan miskin apabila pendapatan masyarakat kurang dari Rp 11 ribu, misalnya Rp 10.500. Ditambah lagi yang teranyar, dalam kasus ditemukannya cacing dalam ikan kaleng, ada menteri yang menyatakan bahwa cacing tersebut berprotein.

Tengoklah, pernyataan-pernyataan seperti ini sungguh tidak layak diucapkan oleh pejabat. Padahal, pejabat/penguasa adalah pengayom masyarakat. Membela kepentingan rakyat memang sudah menjadi mandat jabatan mereka. Namun, pernyataan-pernyataan mereka tadi justru menunjukkan kekurangpekaan mereka akan nasib rakyat yang seharusnya mereka urus.

Baca Juga:  E-KTP Sebagai Syarat Memilih dalam Pemilu, Efektifkah?

Haruslah disadari, pejabat diberi jabatan, atau penguasa diberi kekuasaan, semata-mata demi melaksanakan beragam urusan kepentingan rakyat. Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. Mereka digaji oleh negara untuk memakmurkan rakyat. Uang negara yang digunakan untuk membayar para pejabat ini berasal dari kocek rakyat. Jadi sudah sangat wajar jika mereka bekerja membela rakyat. Karena itu, seyogyanya mereka peka terhadap urusan-urusan rakyat. Bukan malah bersikap dan berucap seenaknya kepada rakyat.

Uraian ini kiranya dapat dikaitkan dengan penyamaan karakter pemerintah pada sosok Khalifah Umar bin Khaththab ra beberapa waktu lalu. Mencita-citakan format pemerintahan berikut negara sebagaimana Khalifah Umar, tentu boleh-boleh saja. Tapi, ketika kondisi di lapangan menunjukkan meluasnya kesengsaraan rakyat, maka cita-cita ini tak ubahnya logika khayalan.

Khalifah Umar dikenal peka pada rakyatnya. Sosoknya begitu dirindukan umat manusia di setiap zaman. Sejarah telah melukiskan berbagai kebijakannya yang jelas berpihak pada urusan rakyat. Ini membuktikan bahwa mengurusi urusan rakyat adalah perkara serius. Urusan rakyat perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Bukan sekedar untuk pencitraan, apalagi demi menggilai jabatan. (*)

Nindira Aryudhani, relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur: E-mail: nindira.a@gmail.com, ummuyazidbilal@protonmail.com

*Sumber: REPUBLIKA.CO.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *