SUARABOJONEGORO.COM – Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk masyarakat Indonesia. Jaringan internet serta perangkat teknologi yang semakin maju menjadi salah satu pendorong meningkatnya jumlah pengguna media sosial. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta pengguna (51,5 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta).
Jika dibandingkan dengan pengguna internet Indonesia pada 2014 sebesar 88,1 juta pengguna, maka terjadi kenaikan sebesar 44,6 juta dalam waktu 2 tahun (2014-2016). Jumlah pengguna internet yang semakin meningkat ini, berpengaruh besar dalam eskalasi jumlah pengguna media sosial. Selain online shop, konten yang sering dikunjungi oleh pengguna internet adalah media sosial, yang saat ini sudah mencapai 71,6 juta pengguna atau 54 % dari total pemakai internet.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa eskalasi pengguna internet berpengaruh besar pada peningkatan jumlah pengguna media sosial. Semakin banyak jumlah pengguna internet, semakin banyak juga pemakai media sosial. Peningkatan jumlah pengguna media sosial tidak terlepas dari manfaat yang diberikannya kepada manusia. Media sosial telah memudahkan manusia dalam proses bersosialisasi. Kehadirannya juga telah menjembatani jarak dan waktu, yang sering dianggap sebagai tantangan dalam proses bersosialisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila manusia semakin bergantung dan terikat kepada media sosial.
Akan tetapi, keterikatan manusia terhadap media sosial ternyata menimbulkan sebuah “kegelisahan”. Kegelisahan yang dimaksud berkaitan erat dengan munculnya sebuah fenomena kecanduan terhadap media sosial. Setiap pengguna tampaknya tidak memedulikan lagi batasan waktu dalam penggunaannya. Tidak hanya pada waktu luang, jam-jam penting pun dimanfaatkan oleh penggunanya untuk bermedia sosial.
Fenomena seperti ini tentunya bukan tanpa sebuah konsekuensi. Keranjingan terhadap media sosial malah menimbulkan sebuah masalah baru, yaitu hadirnya sikap antisosial. Banyak yang beranggapan bahwa kehadiran media sosial telah membentuk budaya yang antisosial. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bersosialisasi dengan sesama malah dihabiskan hanya untuk bermedia sosial.
Hal ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan, “Apakah benar bahwa media sosial dapat membuat penggunanya menjadi antisosial?” Ketika pertanyaan seperti ini diajukan kepada sejumlah pengguna media sosial, 78% menjawab iya, dan 22% menjawab tidak. Artinya, hampir semua pengguna setuju bahwa media sosial memang dapat membuat penggunanya menjadi antisosial. Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian, “Apakah dapat disimpulkan bahwa media sosial media yang antisosial?” Tentu saja jawabannya tidak.
Media Sosial Antisosial?
Menurut saya, media sosial “bukan” media yang antisosial, karena pada dasarnya media sosial diciptakan untuk membantu manusia dalam proses bersosialisasi. James Zanden, seorang sosiolog, mendefinisikan sosialisasi sebagai “suatu proses interaksi sosial dengan mana orang memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku esensial untuk keikutsertaan (partisipasi) efektif dalam masyarakat.”
Berdasarkan definisi tersebut, sosialisasi dapat diringkaskan dalam dua kata, yakni “proses” dan “tujuan”. Artinya, sosialisasi merupakan proses berinteraksi dengan berbagai hal, yang tujuannya adalah terjun di dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi yang dimaksud, media sosial ditetapkan sebagai salah satu “agen sosialisasi”.
Sebagai agen sosialisasi, media sosial memiliki peranan penting dalam proses membentuk cara pandang, berpikir, bertindak, dan bersikap yang tujuan akhirnya adalah tercapainya tujuan sosialisasi, yakni manusia dapat ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, media sosial bukanlah tujuan dari sosialisasi, melainkan sebagai salah satu agen yang membantu tercapainya tujuan sosialisasi.
Jika media sosial dipahami sebagai agen sosialisasi, maka tidak tepat jika media sosial disebut sebagai media yang antisosial. Sebagai agen, media sosial bertugas untuk membantu manusia dalam proses bersosialisasi. Kehadirannya pun bukan hanya untuk menjembatani jarak dan waktu, tetapi juga membuka pintu interaksi dan komunikasi, baik secara personal maupun komunal.
Meskipun demikian, media sosial memang berpotensi untuk membuat penggunanya menjadi antisosial. Akan tetapi, media sosial pada dirinya sendiri diciptakan sebagai alat yang pro terhadap sosial. Oleh sebab itu, sebagai alat, maka yang bertanggung jawab penuh atasnya adalah “penggunanya”.
Prinsip Bermedia Sosial
Dalam hal ini, menurut saya, ada tiga prinsip esensial yang harus diketahui oleh pengguna media sosial sebelum telanjur menjadi antisosial. Prinsip pertama adalah prinsip media sosial sebagai media dan bukan tujuan. Prinsip ini adalah prinsip yang hakiki, tetapi sering terabaikan, sehingga berdampak pada munculnya sikap antisosial.
Banyak di antara pengguna media sosial secara tidak sadar menjadikan media sosial sebagai tujuan dari sosialisasi, padahal media sosial hanya berperan sebagai media, yang membantu manusia mencapai tujuan dari sosialisasi, yakni terjun secara nyata di dalam masyarakat.
Prinsip kedua adalah prinsip dua arah dari media sosial. Prinsip ini ingin mengatakan bahwa media sosial tidak diciptakan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan agar terciptanya interaksi dan komunikasi dua arah, baik secara personal maupun komunal. Namun, prinsip ini sering dilupakan karena banyak pemakai media sosial yang hanya berpusat pada dirinya sendiri.
Seorang ahli psikologi, dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa di dunia maya, budaya membicarakan tentang diri sendiri mendapat ruang yang lebih besar, sehingga penggunanya cenderung mengabaikan orang lain. Dampak dari sikap egosentris ini adalah hilangnya prinsip dua arah dari media sosial. Terlalu banyak membicarakan mengenai diri sendiri berpotensi menghilangkan kesempatan untuk mendengar dan memerhatikan cerita orang lain. Akibatnya, yang tercipta adalah jurang komunikasi antara satu pengguna dengan pengguna media sosial yang lain. Jurang tersebutlah yang pada akhirnya menjadi benih yang menumbuhkan sikap antisosial.
Prinsip ketiga adalah tentang adanya kepuasan sosialisasi di dunia nyata yang tidak didapatkan di dunia maya. Banyak pengguna media sosial yang tidak sadar bahwa ada kepuasan tersendiri ketika menjalani proses sosialisasi di dunia nyata dan kepuasan itu tidak dapat ditemukan di dunia maya. Prinsip ini juga ditegaskan oleh Brian A. Primack dalam penelitiannya mengenai teknologi dan kesehatan. Ia mengatakan bahwa “mereka yang banyak menggunakan media sosial tak punya banyak waktu untuk menjalani pengalaman sosial langsung yang lebih memuaskan.” Artinya, kepuasan dalam proses sosialisasi di dunia nyata sama sekali tidak dapat ditukar oleh media sosial.
Proses sosialisasi di dunia nyata menyimpan banyak keindahan. Sentuhan fisik, gerak tubuh, dan tatapan mata merupakan beberapa bentuk keindahan yang hanya dapat diperoleh dalam proses sosialisasi di dunia nyata. Seandainya pengguna media sosial dapat memahami prinsip ini, maka tidak ada lagi alasan baginya untuk melanyak proses sosialisasi di dunia nyata.
Bermedia Sosial dengan Waras
Media sosial hanyalah alat yang membantu manusia supaya lebih mudah dalam proses bersosialisasi di dunia nyata. Namun karena pemahaman yang tumpul akan fungsi dan peran tersebut, banyak pengguna media sosial yang akhirnya terperangkap dalam sikap antisosial. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak tersebut, maka perlu ada edukasi khusus untuk para pengguna media sosial.
Edukasi tersebut bisa dilakukan secara nyata di rumah, di sekolah, dan di tempat ibadah. Edukasi itu pun dapat dilakukan di dunia maya, dengan cara mendiskusikan topik-topik seperti ini, baik di dalam grup diskusi ataupun secara perseorangan. Selain itu, menulis di media sosial juga menjadi cara terbaik untuk mendidik penggunanya. Tulisan yang dibaca oleh pengguna media sosial akan berpengaruh dalam cara ia menggunakan media sosial.
Jika tulisan yang dibaca bersifat konstruktif dan dapat membangun kesadaran akan pentingnya keseimbangan sosialisasi di dunia maya dan di dunia nyata, maka pengguna akan semakin bijak dalam memanfaatkan media sosial. Sebaliknya, jika tulisan yang sering dibaca oleh pengguna media sosial bersifat destruktif dan tidak membangun kesadaran dalam penggunaan media sosial, maka sudah pasti efek buruk dari media sosial lebih mungkin untuk terjadi. Oleh karena itu, di era media sosial ini, setiap kita ditantang agar bisa menjadi waras dalam bermedia sosial.
Penulis : Yunus Septifan Harefa, Rohaniawan, tinggal di Jakarta
*Sumber: detik.com