TKI SAYANG, TKI MALANG

Oleh : Ummu Wafie

Tuty tursilawati adalah satu dari sekian tenaga kerja Indonesia yang mendapatkan eksekusi mati dari pemerintahan Arab Saudi. Setelah menjalani hukuman selama 7 tahun, Tuty dieksekusi mati karena diduga telah membunuh majikannya. Mirisnya, eksekusi Tuti tidak didahului pemberitahuan kepada keluarga maupun pemerintah Indonesia. Pada Senin (29/10/2018), Pemerintah Arab Saudi melakukan eksekusi mati terhadap Tuti di Kota Ta’if, tanpa notifikasi atau pemberitahuan resmi kepada perwakilan Pemerintah Indonesia, baik pihak KBRI di Riyadh maupun KJRI di Jeddah. Tuti merupakan terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap majikannya yang terjadi pada 2010. (Tribunnews.com).

Selain Eksekusi Tuti, Eti binti Toyib asal Jawa Barat juga menunggu eksekusi mati setelah pada 2010 divonis bersalah karena kasus serupa. (bbc.com). Peristiwa yang sama juga pernah terjadi dalam kasus Zaini Misrin. Tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Madura itu dieksekusi pada Minggu (18/3/2018) di Arab Saudi tanpa pemberitahuan resmi.

Pada tahun 2015, Siti Zainab, WNI asal Bangkalan, Madura, juga dihukum mati karena kasus pembunuhan pada tahun 1999. Dalam pekan yang sama, Karni binti Medi Tarsim dieksekusi di dekat Madinah. Eksekusi mati juga menimpa Yanti Iriyanti pada 2008 dan Ruyati pada 2011. (bbc.com). Migrant Care mencatat ada ratusan TKI yang terancam hadapi hukuman mati di luar negeri (news.detik.com).

Dan menurut data organisasi hak asasi manusia Reprieve menyebutkan terdapat 133 eksekusi di Arab Saudi pada periode Juli 2017 hingga 2018. (bbc.com)

Pahlawan devisa, sungguh malang nasibmu.

Data Bank Dunia mencatat terdapat sembilan juta pekerja migran atau tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang tersebar di berbagai negara. Meski begitu, seperti diungkapkan Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Bidang Ekonomi, Industri dan Bisnis, Rizal Calvary Marimbo. Dari 9 juta TKI itu, menurut Rizal lagi, sebanyak 55 persen bekerja di Malaysia. Lalu, sekitar 13 persen ke Arab Saudi, 10 persen ke Cina Taipei, 6 persen ke Hong Kong, 5 persen ke Singapura, dan sisanya tersebar di negara-negara lainnya.

Baca Juga:  Upaya Pemerintah Meningkatkan Mutu SDM Guna Bersaing Dalam Bisnis Indonesia

Rizal juga menyebut, Bank Dunia mencatat kontribusi remitansi (pengiriman uang dari TKI ke negara asalnya) mencapai 8,9 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp 118 triliun pada 2016 lalu. Realisasi ini (saat itu) setara dengan satu persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada 2017, angka remitansi naik lagi mencapai Rp 148 triliun, atau mendekati 4,5 persen dari PDB.(suara.com).

Mungkin inilah yang menjadikan mereka mendapat julukan pahlawan devisa, mereka bisa menyumbangkan trilyunan rupiah bagi pendapatan Negara. Tapi sungguh malang nasib para TKI, mereka merebut kerja di negeri orang tapi negeri sendiri diserbu tenaga asing. Sebagaimana pernah mencuat berita membanjirnya tenaga kerja asing di daerah Morowali. Menurut Asnan As’ad perwakilan buruh dari daerah tersut sebagaiman beliau sampaikan pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) tvOne, Selasa 1 Mei 2018, TKA di Morowali angkanya 2.100 orang versi pemerintah. Tapi, kenyataannya bukan itu, tapi sekitar 8.000 ke atas. (viva.co.id). Mereka rela meninggalkan keluarga, kampung.halaman, tapi justru sengsara di negeri orang.

Dengan julukan sebagai pahlawan devisa, mereka dibuat berbangga, merasa apa yang mereka lakukan adalah sebuah jasa yang tak terhitung besarnya. Mungkin lebih pantasnya ini adalah sebuah jargon yang meredam keputus-asaan mereka. Sebenarnya mereka rela bekerja diluar negeri karena nasib mereka terlunta di negeri sendiri, terlilit hutang, hidup yang serba kekurangan dan segudang alasan yang tak mampu mereka sampaikan. Mereka menjadi TKI karena “Terpaksa”. Bukan karena mereka pahlawan devisa.

Memang tak hanya mereka yang bernasib buruk yang akhirnya memilih menjadi TKI. Ada juga mereka yang seakan mendapat durian runtuh yakni tenaga professional Indonesia yang direkrut oleh perusahan Asing.

Sebenarnya mereka berhijrah ke luar negeri punya bermacam alasan, salah satunya karena gaji disana lebih besar atau karena sebenarnya mereka adalah anak-anak berotak emas yang kurang mendapat tempat di negeri sendiri, akhirnya mereka memilih Negara yang lebih menghargai mereka. Tapi jumlah mereka tentu jauh lebih kecil dibandingan mereka para TKI non professional.

Baca Juga:  Tragedy Kanjuruhan 

Solusi TKI
Ketika kita berfikir praktis, maka kita akan bertemu dengan sebuah pepatah, “Tak ada asap kalo tak ada api”. Tidak akan ada masalah TKI kalo semua warga Negara Indonesia bekerja di negaranya sendiri. Permasalahan TKI ini tak akan ada kalo tidak ada TKI di luar negeri. Jangan hanya dengan alasaan mereka adalah pehlawan devisa kemudian mempertahankan keberadaan mereka disana atau berusaha menambah jumlah mereka.

Ketika jumlah lapangan pekerjaan dinegara kita memadai tentu tidak akan ada mereka yang meninggalkan anaknya, suami atau istrinya, keluarganya untuk mengais rupiah di Negara orang. Melindungi mereka dengan pengesahan undang-undang perlindungan tenaga kerja migranpun tak banyak menyelesaikan masalah.
Permasalahan TKI ini adalah permasalan sistemik. Ketika kita ada dalam jargon kapitalis, dimana ada keuntungan yang ingin dipertahankan, maka mereka akan terus diperah peluhnya. Dan ketika solusinya adalah tambal sulam undang-undang dan perbaikan hubungan diplomatis, akan sulit sekali masalah ini terselesaikan. Bisa jadi Akan ada ”Tuty-Tuty” lain yang bermunculan.

Perbanyak tenaga kerja dalam negeri, pemberian upah yang memadai, kembalikan mereka ke negeri sendiri, kuasai sumber daya alam jangan serahkan pada asing, berpihaklah pada tenaga kerja sendiri jangan pro tenaga kerja asing dan buang jauh jauh pandangan kapitalistik yang menyengsarakan.

Berfikirlah perubahan, berani memilih solusi yang ampuh menghilangkan penindasan, jangan hanya tambal sulam. Ya…sistem islamlah solusi perubahan.Yang melakukan pengelolaan sumber daya pro rakyat, gaji pekerja yang tinggi dan jaminan kehidupan yang layak. Alternative solusi segala problem termasuk ketenagakerjaan. Sistem Islam adalah sistem yang terbaik untuk seluruh alam. karena berasal dari sang pencipta alam semesta, dzat yang paling tahu tentang ciptaan-Nya. (**)

 

*)Foto: Ilustrasi Istemewa. Net