Teladan Keberanian dari Bung Hatta

Oleh : Ahmad Syauqi Fuadi

SuaraBojonegoro.com – Usianya belum genap dua puluh enam tahun saat membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Vrij dihadapan pengadilan Den Haag tanggal 9 Maret 1928. Kata demi kata yang keluar dari mulutnya bak peluru yang bertubi-tubi menyasar jantung kekuasaan kolonial Belanda. Betapa tidak, masa depan kolonial dipastikan oleh si pemuda akan berakhir.

“Penjajahan Belanda”, ujar si pemuda dengan gagah dan berani, “pasti akan berakhir.” Lanjutnya kemudian: “cepat atau lambat pada suatu ketika bangsa yang terjajah mengambil kembali kemerdekaannya, itu adalah hukum besi sejarah.”

Indonesia merdeka pasti terwujud, masalahnya bukan ya atau tidak, akan tetapi cepat atau lambat.

Mari kita renungi sejenak kalimat-kalimat yang meluncur dari si pemuda tersebut: sebuah keberanian ataukah perbuatan nekat? Sebelum menjawabnya, penting untuk kita ikuti kesimpulan miris dari sastrawan kondang, Taufik Ismail:

“Sebelum Indonesia Merdeka, pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita sudah sedemikian baiknya. Yaitu, masa ketika siswa-siswa Algemeene Middelbare School (AMS) membaca sedikitnya 25 buku selama mereka belajar di bangku sekolah setingkat SMA, dalam 4 bahasa pula. Mutu bacaan mereka itu kurang-lebih sama dengan mutu bacaan siswa-siswi SMA di berbagai negara maju di Amerika dan Eropa hari ini. Inilah sejarah yang alpa dan mencengangkan: sejak 60 tahun lebih silam, siswa-siswa SMA kita hanya membaca 0 buku sastra, tentu dengan sedikit sekali pengecualian.”

Baca Juga:  STIE CENDEKIA, Berani Maju Semakin Cerdas

Sastra adalah konteks khusus, sementara konteks umumnya adalah membaca. Membaca adalah ciri yang dimiliki oleh si pemuda dan generasi seangkatannya.

Membaca memberikan akses tak terbatas terhadap literatur-litreratur dunia yang membentuk pemahaman dan ketajaman visi hidup mereka. Membaca mampu
membongkar kejumudan menuju kemajuan. Membaca menghadirkan kesadaran atas
penderitaan dan kezaliman penjajahan. Membaca memberikan pengetahuan akan lorong yang harus ditempuh untuk mewujudkan keadilan. Membaca menuntun kepada suatu

ilmu, dan ilmu memberi arah terhadap kebenaran. Membaca berarti mengilmui kebenaran. Akarnya adalah ilmu.

Pada tahun 1957, saat berusia lima puluh lima tahun, Bung Hatta didapuk untuk memberikan pidato di hadapan alumni Universitas Indonesia. Berikut cuplikan bagianisi pidatonya: “Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi suatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah pada perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter itu, karena –seperti saya katakan tadi- ilmu ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.”

Baca Juga:  Belajarlah Pada Seni Tradisi

Ilmu dan karakter. Sejoli yang mesra dan tak (boleh) dicerai-beraikan. Ilmumenuntun kepada kebenaran, sementara karakter memperteguh langkah untuk mencintai kebenaran serta berani membelanya. Hilangnya karakter berakibat kepada kaburnya kebenaran. Kaburnya kebenaran berarti ada kerancuan dalam ilmunya.

Keberanian adalah anak kandung dari kebenaran. Apalah arti keberanian jika untuk membela sesuatu yang salah. Apa yang patut dibanggakan dari keberanian yang didorong oleh nafsu bukan ilmu. Keberanian adalah mencintai kebenaran: mengilmui kebenaran dan membelanya.

Maka inilah kesimpulannya: perbedaan berani dan nekat terletak pada ilmu. Berani bukanlah bicara asal lantang. Berani bukanlah bertindak tanpa perhitungan. Berani bukanlah asal maju ke depan tanpa visi. Dan, berani adalah sikap yang didorong dari pemahaman atas mana yang salah dan benar. Berani adalah karakter yang lahir dari keinsafan atas ilmu untuk mencintai dan memperjuangkan kebenaran. Keberanian Bung Hatta yang menyatakan berakhirnya kolonialisme Belanda lahir dari ilmu dan pembacaan literatur serta kondisi sosial politik Asia Pasifik. (**)

*) Penulis adalah Pengajar di STIT Muhammadiyah Bojonegoro