Sensitivitas Sepeda Mahal dan Relasinya dengan Kurban

Oleh: Yoga Irama

SuaraBojonegoro.com – Sepeda itu bagi saya adalah sebatas alat transportasi biasa. Praktis, bisa dibawa kemana-mana, dengan hanya membutuhkan tenaga kayuh kaki untuk mengoperasikannya, sungguh ramah lingkungan, beda dengan mobil dan motor yang banyak menghabiskan bahan bakar, polusi dan sering tak bisa menembus kemacetan. Dengan ciri seperti itu, di mata saya ia sama belaka dengan sepeda-sepeda yang sering saya lihat sedari waktu kecil sampai sekarang, baik di kota maupun desa. Tak ada yang istimewa.

Namun, pemilik sepeda itu, Nikita Mirzani salah satu artis di Indonesia, mendapat kecaman dari para netijen Indo di dunia maya. Menurut para netijen, Mbak Nikita dinilai sombong, riya’ dan telah berfoya-foya dengan membeli sepeda seharga puluhan bahkan ratusan juta tersebut. Hahaha!
***

Rasanya wajar saja saya ketawa membaca berita yang ada di layar hape saya itu. Apa-apaan ini? Gitu aja kok marah. Bagaimana bisa orang timbul stigma negatif karena sepeda? Orang dari negeri keren yang terkenal dengan sifat ramah, yang seluruh budayanya mengajarkan sopan santun dan bersikap baik, yang memiliki kebiasaan santai dalam hal apapun, eh ternyata mudah ilfeel sama sepeda!

Tiba di detik itu, saya merasa ada yang salah dengan netizen Indonesia. Sebab seingat saya kita tidak pernah merasa keberatan apalagi marah melihat sepeda-sepeda mahal milik para pejabat dan petinggi negara, misalnya.

Barusan saya googling, ketemu gambar salah satu merk sepeda buatan Inggris yang sedang menjadi primadona saat ini karena modelnya yang mempesona, terlebih lagi harganya yang mahal luar biasa yakni Sepeda Brompton, dan sepeda itu malah mengingatkan saya kepada sepeda aktor Raffi Ahmad yang diperlihatkannya dalam vlog youtubenya. Bukan hanya Raffi Ahmad saja, banyak juga youtuber-youtuber lain yang memamerkan sepeda mahalnya untuk dijadikan konten. Nah, kenapa tidak ada protes keras dari netijen atau ormas misalnya, dengan dalih youtuber-youtuber tersebut telah mengajarkan hidup foya-foya?

Oke, mungkin urusannya bukan cuma sepeda. Jadi mari kita lihat simbol-simbol lain. Setiap hari kita disuguhi oleh tayangan-tayangan berisi gaya hidup sehari-hari yang glamor serba mewah dan bahkan terkesan menghambur-hamburkan harta oleh beberapa artis serta youtuber-youtuber baik di tv maupun di media sosial.

“Bagus aja sih menurutku, mereka memperlihatkan barang-barang mewah yang gak kumiliki sampai saat ini. Karena penasaran pengen lihat cara hidupnya orang-orang kaya apa, makanya sering ku tonton video-video mereka di youtube.”

Itu tadi pengakuan dari teman saya yang senang sekali menonton para youtuber-youtuber yang kerap kali menampakkan kemewahan dalam setiap konten videonya. Masuk akal sih alasannya. Tak sedikit pameran-pameran harta benda yang diperlihatkan, bukan hanya sepeda saja, ada banyak lagi lainnya. Anehnya kita teramat menikmati-menikmati saja tuh sajian semacam itu. Kita cenderung permisif dan memberikan pemakluman terhadap itu semua.
Namun, tawa saya yang mengejek nyinyiran netizen itu tak berlangsung lama. Sebab ketika merenung-renungkan soal sepeda, lekas saya teringat peristiwa beberapa minggu lalu, ketika saya dan teman saya Rohman berkunjung ke rumah sahabat saya Amir di Sidoarjo. Saya dan teman saya Rohman menemuinya di rumah bersama ibunya, kami pun mengobrol, lalu di tengah percakapan Rohman menceritakan lelucon kecil bahwa dia baru saja membeli sepeda seharga beberapa juta. Alih-alih ikut tertawa, wajah ibu Amir langsung tampak kesal musam mendengarnya. Usut punya usut ternyata Ibu Amir adalah salah satu pegawai yang menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal akibat Virus Corona.

Baca Juga:  Guru Cerminan Karakter Pendidikan (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

Saya akhirnya paham, sepeda mahal memang bisa membuat orang sensitif dan muncul stigma negatif. Barangkali itulah kenapa saya tidak pernah mendengar seorang Atta Halilintar jalan-jalan ke rumah-rumah pegawai pengangguran yang menjadi korban PHK dan dirumahkan massal sambil memamerkan sepeda mahalnya. Sama juga, saya tak mendengar Raffi Ahmad dan beberapa pengguna sepeda mahal lainnya bersepeda ke kantor LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau lembaga penanganan Covid-19. Sebab, bisa-bisa sepeda-sepeda mahal itu akan memicu sakit hati dan luka akibat teringat keadaan hidup yang mencekik.
***

Kalau anda mengira saya berbicara tentang sepeda, Anda keliru. Saya sedang bicara tentang stigma, dan sensitivitas itu bersifat sangat subjektif.

Pandemi Corona adalah masa yang sangat pahit bagi Indonesia, bahkan dunia. Dan itu menjadi salah satu penyebab sensitifitas diri terhadap hal yang berhubungan dengan harta benda. Jamak diketahui banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh Virus Corona, bukan hanya banyaknya korban jiwa, namun juga beragam dampak negatif lain, mulai dari warga yang kesulitan akses fasilitas kesehatan, terancam krisis pangan, dan berpenghasilan harian yang hilang.

Kemarin saya membaca satu buku Slavoj Zizek Pandemic!: Covid-19 Shakes the World, dan memahami bahwa dampak dari pandemi corona mampu merubah segalanya, dalam buku tersebut Zizek menjelaskan bagaimana karakter masyarakat dan dunia akan berubah menjadi barbar pasca pandemi.

Ramalan perubahan karakter masyarakat menjadi barbar tersebut memang tidak berlebihan, disebabkan karena keadaan ekonomi masyarakat menjadi hancur dan berantakan sama sekali, itu semua yang membangun sensitifitas hingga muncul sinisme, dan yang namanya sensitifitas seringkali tak dapat dipahami oleh siapa pun di luar si pelaku sensitifitas. Tak ada bedanya dengan Kakak Perempuan saya yang cemberut ketika ditanya tentang berat badan. Sementara Si Adik yang selalu kesal kalau ada pria yang pamer tinggi badan.

Maka, saya memilih tak lagi melanjutkan tawa saya, karena toh Mbak Nikita justru malah membeli lagi sepeda mahal itu sebanyak tiga buah. Saya lebih suka melanjutkan lamunan saya dengan melihat sensitifitas kita sendiri.

Baca Juga:  'BAKULAN-MAK’ Implementasi Belanja dari Tetangga Sendiri

Karena perjalanan sejarah dan perjalanan pembentukan persepsi aneka warna, kita memang lebih sensitif melihat orang-orang pamer kakayaan dan berfoya-foya dengannya. Anda pasti langsung paham dengan apa yang saya maksudkan.

Makanya, setiap kali ada oknum yang dengan sengaja atau tidak memamerkan kekayaannya, kita ribut setengah mati. Beberapa minggu lalu muncul kejadian viral di Kota Semarang, di mana terdapat rombongan pesepeda Brombton belagu yang merasa harga sepedanya sangat mahal kemudian dengan enaknya masuk ke dalam kafe lengkap dengan sepedanya, sebagian bahkan ada yang dengan santai menaiki sepedanya ke dalam kafe tersebut dengan keadaan masih mengenakan helm dan lampu sepeda masih menyala.

“Halah cuma pamer aja, lho! Apanya yang salah? Itu hak dia!”
Tunggu-tunggu. Bahwa itu cuma pamer, ya memang. Tapi yang sedang dihadapi adalah publik awam, dan publik awam itu punya sensitifitas porsi mereka.

Mengandaikan bahwa semua orang mau dan mampu mencerna segala hal secara rasional itu arogan dan naif, senaif Anda ketika tertawa saat melihat anak kecil merengek dan menangis meminta mainan kepada orang tuanya, namun orang tuanya tak punya uang untuk membelikannya sehingga terpaksa harus mengabaikan tangisan anaknya itu.
***

Tapi lagi-lagi jangan salah paham. Saya pun tidak sedang mengatakan bahwa orang yang pamer kekayaan itu benar-benar bermakna dia sama sekali tidak punya empati untuk membantu sesama yang sedang kesusahan. Saya hanya mau bilang bahwa yang namanya sensitivitas bukan perkara yang objektif, sensitivitas itu sesuatu yang irasional yang benar adanya. Dan dari sensitifitas itu sangat mudah memicu tindakan kejahatan serta barbar. Tidak kah kita mengingat tragedi krismon (krisis moneter) tahun 1998 silam, di mana terjadi chaos dan penjarahan dimana-mana, bukankah kejadian itu juga salah satu sebab dari sensitifitas masyarakat miskin yang tersulut akibat melihat banyaknya petinggi-petinggi negara yang terus-menerus bermewah-mewahan dan berfoya-foya dengan harta korupsiannya.

Maka, ingatlah bahwa sebentar lagi akan datang hari Raya Idul Adha, Sodara. Siapkan diri untuk tidak memicu sensitifitas orang lain. Sebab, esensi berkurban bukan sebatas menyembelih hewan kambing, sapi, kerbau atau unta. Tapi yang paling penting ialah berkurban nafsu duniawi, dengan membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri kita; kebiasaan cinta dunia, berfoya-foya, rakus, tamak, angkuh dan selalu egois mengutamakan kebutuhan diri sendiri tanpa melihat kebutuhan sesama, tentu tujuannya ialah supaya jiwa kita menjadi bersih sehingga kita bisa semakin dekat dengan Allah SWT.

~ Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 H / 2020 M.