Oleh: Isna Yuli
(Woman Movement Institute)
SuaraBojonegoro.com – Wacana tes membaca Al-Quran bagi capres-cawapres sempat menjadi pro kontra baik pendukung atau mereka yang terlibat langsung dalam eskalasi politik elektoral. Dengan alasan guna mengetahui kualitas calon presiden dari kedua kandidat, wacana yang digagas oleh Ikatan Da’i Aceh bermaksud mengundang kedua kandidat capres-cawapres RI untuk uji baca Al Quran yang diagendakan pertengahan bulan ini. Usulan ini sebebenarnya lebih bertujuan untuk mengahiri polemik identitas yang mempertanyakan keislaman kedua pasangan.
Wacana tersebut segera ditanggapi berbagai pihak, baik dari tokoh pendukung masing-masing calon maupun pernyataan resmi dari kedua kubu. Wakil ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Hajriyanto Thohari menilai bahwa tes tersebut tidak diperlukan karena syarat dan ketentuan dari KPU telah cukup. Disisi lain Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi juga menilai bahwa tes baca Al Quran tidak perlu. Lebih jauh lagi BPN menilai yang lebih penting adalah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Okezone.com).
Sebagai seorang warga Negara, tentunya masyarakat sangat merindukan pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyatnya sendiri, syukur jika pemimpin tersebut adalah seorang musilm yang juga ahli ibadah, mengingat sebagian besar warga Indonesia adalah muslim. Tidak hanya cerdas dalam membangun Negara berdaulat, tapi juga senantiasa menyandarkan seluruh kebijakannya sesuai dengan petunjuk Sang pemilik kehidupan.
Sedangkan Al Quran merupakan petunjuk dari Allah swt bagi manusia. Isinya mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bermasyarakat dan bernegara. Semuanya wajib diamalkan tanpa kecuali, maka pandai membaca atau sekedar hafal saja belumlah cukup. Apalagi tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas semata.
Ide tes membaca Al Quran untuk capres – cawapres dan respon terhadapnya merupakan salah satu bukti dalam sistem demokrasi Al Quran hanya dijadikan sebagai alat permainan politik untuk memenangkan persaingan di satu sisi. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika beberapa ayat Al Quran, hadist serta fatwa ulama juga dijadikan sebagai kedok meraih dukungan masyarakat. Terlihat ketika suara ulama terbelah, sebagian mendukung salah satu paslon dan sebagian mendukung yang lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masing masing ulama memiliki pengikut yang lumayan banyak, hal itu juga dimanfaatkan tentunya guna meraih suara kemengan. Sudah menjadi kebiasaan sesaat menjelang pemilu, baik paslon maupun pendukung bergerilya secara massif dan bermanis muka dihadapan ulama dan tokoh agama guna meminta dukungan mereka.
Di sisi yang lain keberadaan Al Quran dianggap tidak penting, sebagaimana mereka menolak usulan tersebut. Terlepas dari ketiadaan syarat tersebut dalam UU pencalonan, sistem demokrasi sendiri memang sedari kelahirannya telah dibekali oleh paham pemisahan agama dari kehidupan. Jadi sebuah hal yang wajar jika dalam sistem ini syarat keagamaan tidak terlalu dipermasalahkan. Demokrasi membebaskan individu untuk beragama dan menjalankan ibadahnya masing-masing, tetapi demokrasi senantiasa melarang bahkan mencegah penerapan hukum agama secara bermasyarakat.
Lantas bagaimana kita mampu meraih keberkahan dalam kehidupan ini jika untuk bermasyarakat bernegara kita masih pilih-pilih. Pilih Ulama untuk meraih dukungan umat, tapi tak mau pilih Al quran sebagai pedoman kehidupan? Wallahu’alam bishowab. (*/JW)
Sumber Foto: Merdeka.com