Santri Ngemper

Oleh: Abdul Haris

Hujan rimis-rimis menemani seorang pemuda cungkring yang sedang berjalan menuju rutinan ngaji malam. Entah kenapa malam itu ia lupa membawa mantol, karena hujan semakin lebat ahirnya ia berteduh di emper masjid dekat jalan. Pemuda yang beberapa tahun lalu meninggalkan kampung halamannya itu nampak sedang sibuk mengibas-ngibaskan sarungnya yang basah terguyur hujan, sambil mencopot pecisnya untuk dimasukkan dalam tas. Abdullah namanya, namun orang setempat kerap memanggilnya Abid. Ia bersender di tiang teras masjid menunggu hujan reda. Abid sebenarnya orang asli Jawa Timur, ia merantau ke Jawa Tengah dengan niat awal menuntut ilmu. Sudah tiga tahun lamanya ia menjalani hidup di Jawa Tengah dengan harapan merubah perilakunya.

Hujan bukannya mereda justru malah semakin deras saja, terdengar suara angin yang menggusik dedaunan pohon di halaman masjid serta beberapa gemuruh mengiringinya. Abid mulai mengeratkan tangan dan kakinya karena kedinginan, tas ranselnya mulai dipeluk erat-erat, sesekali bibirnya mengeluarkan suara menggigil. Berkali-kali ia mencoba melirik jam dinding masjid, berharap hujan cepat reda dan ia tak telat sampai di tempat ngaji. Biasanya ngaji dimulai pukul 21:00 dan waktu saat itu masih menunjukkan pukul 20:00, jadi ia masih punya waktu satu jam untuk menunggu. Sebenarnya ia sudah sengaja berangkat lebih awal, namun karena cuacanya tak menentu jadinya ia harus sabar menunggu di teras masjid.

Abid adalah santri kalong di sebuah desa daerah pengecoran logam di Jawa Tengah. Sudah dua tahun ia nyantri kalong di sana. Ia tinggal di Kartosuro dekat tempat ia melanjutkan pendidikannya. Selama tiga tahun ia kuliah, jarang sekali menetap (ngekos). Seringnya ia tidur di emper masjid ikut temannya yang jadi takmir masjid, atau kadang ia tidur di kios cukur rambut tempatnya bekerja. Maklum uang sakunya jarang cukup untuk ngekos. Malah dulu pas waktu masih semester empat ia juga pernah nyambi antar jemput sekolah anak dosennya, ya menurutnya lumayan untuk biaya mondar-mandirnya tiap hari.

Sebelum merantau ke Jawa Tengah, dulunya Abid adalah seorang remaja yang nakal. Kenakalannya bermula saat ia beranjak duduk di SMA. Setiap berangkat sekolah ia tak pernah sampai sekolah, paling mentok ia mampir warung atau tiduran di rumah temannya. Sekolah di desa membuatnya mudah untuk bolos, sebab peraturan sekolah tak begitu ketat. Jika dihitung tiap minggu paling hanya satu atau dua kali ia sampai sekolah, itupun tak sampai full, terkadang sebelum dzuhur ia sudah lompat jendela yang kala itu belum dipasangi kaca. Ia bisa dengan mudah pulang sekolah, sebab selain belum ada kaca jendelanya sekolahnya juga belum ada pagarnya. Entah sudah beberapa kali Abid diberi surat peringatan oleh pihak sekolah, namun surat itu tak pernah sampai ke orang tuanya, seringnya surat itu mangkir dalam tas temannya dan ujung-ujungnya berahir menjadi abu.

Sebenarnya orang tuanya juga sudah tahu kelakuan anaknya, gurunya sudah beberapa kali datang kerumahnya untuk mengadukan kelakuan Abid. Namun karena ia memang anak yang nakal, jadi orang tuanya sudah capek menasehatinya. Pernah suatu saat gurunya mengancam untuk tidak meluluskan, namun itupun tak membuatnya kapok. Menurut Abid saat itu, hidup itu punya dua pilihan untuk dapat diingat seseorang, jika tidak bisa menjadi yang terbaik jadilah yang terjelek maka orang akan mengingatmu. Baik dan jelek hanyalah masalah penimbangan rasa, dan bukan hati namanya jika tak memiliki sifat berbolak-balik.

Setelah lulus sekolah Abid mulai bekerja. Ia kerja di salah satu konveksi rumahan di Surabaya. Bekerja tak membuatnya menghilangkan sifat nakalnya, bahkan setelah ikut pencak silat ia semakin menjadi. Saat di rumah (libur kerja) orang tuanya selalu was-was, takut ia ikut tawuran. Memang saat itu di daerahnya sedang panas-panasnya tawuran antar perguruan pencak silat. Setiap malam Abid tak pernah pulang ke rumah, seringnya ia keluyuran bersama teman-temannya atau kadang nonton dangdutan di kampung lain. Orang tuanya sudah bingung lewat cara apa harus menasehati kelakuannya. Pada ahirnya sang ibu mengirimnya ke Semarang untuk menemui pamannya. Di sana ibunya merencanakan agar pamannya mendaftarkan Abid untuk lanjut sekolah. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya, ibunya ingin memisahkan Abid dengan teman sekampungnya sebab selama kerja di Surabaya ia masih kumpul bersama teman-temannya itu.

Beberapa tahun kuliah kehidupan Abid sering sendirian, sebab ia tak bisa menemukan teman sepemikiran dengannya. Rata-rata anak satu jurusan dengannya adalah lulusan pesantren. Obrolan-obrolannya pun sekitar lingkup pesantren misalnya seperti ngaji kitab apa, sampai mana ilmu baca kitabnya, dulunya nyantri di mana, sudah berapa tahun nyantrinya, serta bagaimana pengalaman nyantrinya. Hal inilah yang tak pernah membuatnya nyambung dengan teman-temannya.

Keseringan hidup menyendiri ngemper di Masjid dan di kios cukur rambut membuat gejolak di hatinya. Sebenarnya ia tak pernah mempermasalahkan harus tidur sendirian di kios, menyendiri di mushola samping kelurahan yang tempatnya berdekatan dengan kiosnya, atau ia harus bangun sebelum subuh untuk mandi di kamar mandi samping mushola yang tak ada pintunya. Sebab sebelumnya ia sudah terbiasa hidup awut-awutan saat ia masih kerja di Surabaya. Namun ada hal yang membuat resah hatinya, yaitu sampai kapan ia akan seperti itu terus, sampai kapan tak ada pilihan?. Pertanyaan itulah yang terus mengulang-ngulang di benaknya. Ia sadar bahwa ternyata sebenarnya jiwanya sakit, ia harus secepatnya mencarikan obat penawarnya.

Sesaat setelah gejolak itu, ia kemudian memutuskan untuk ngaji ikut teman-teman kuliahnya. Setiap seminggu sekali ia ikut rutinan ngaji malam seninan di pesantren desa pengecoran logam. Mengaji di sana beberapa kali membuatnya merasa minder. Bukan karena ia tak bisa mengaji, sebab meskipun masa lalunya adalah anak yang nakal, saat masih SD ia pernah jadi anak yang rajin mengaji di kampungnya. Keminderan dirinya dikarenakan cerita dari beberapa temannya yang sama-sama nyantri di pesantren itu, banyak cerita yang hebat dan tinggi mengenai pengalamannya. Misalnya seperti temannya yang bernama Ahmad, ia sering menceritakan masalalunya saat nyantri pernah menyabet beberapa gelar juara lomba. Ia pernah juara qori’, juara shalawat, pidato bahasa Arab, lomba hafalan qur’an dan hadist.

Pernah beberapa saat ia berpikir untuk mengurungkan niatnya untuk ikut ngaji. Ia merasa akan susah untuk menyelaraskan dirinya dengan teman-temannya, secara pengalaman dirinya adalah kacau sedang teman-temannya memiliki pengalaman baik, ujung-jungnya ia tak akan dapat apa yang diharapkannnya.

Namun ia benar-benar butuh obat penawar itu, ia sudah capek dengan gejolak hatinya, pertanyaan-pertanyaan yang terus mengusik pikirannya. Pada ahirnya ia mantabkan untuk ikut mengaji lagi. Toh kenapa harus merasa minder, kan bukan seperti itu yang diinginkannya. Menurut Abid yang terpenting tujuannya adalah mencari obat. Tak perlu ia harus menjadi yang terdepan, terhebat, ataupun teralim. Ia juga tak bermaksud ingin duduk gagah dalam satu majlis, atau memilih saf yang terdepan. Baginya duduk di emper pesantren, di teras-teras ngaji, atau di serambi masjid sudah membuatnya senang untuk mendengarkan resep-resep yang diberikan kiyai untuk kemudian ia tukarkan di jalan-jalan, di pedagang kakilima, di terminal, di kampung-kampung, di malam-malam sepi, atau di tempat-tempat lain yang menenangkan hatinya.

Untuk menyemangati dirinya sendiri, ia selalu merasa dirinya tak pernah penting. Sebab perasaan penting akan membuat dirinya berhak untuk memasuki majlis, duduk bersama para santri dan kiyai. Pada ahirnya ia akan lupa dengan tujuan awalnya, yaitu ingin mendapatkan ketenangan. Abid lebih sering mendengarkan obrolan di angkringan, warung kopi, di emper jalan, di kampung-kampung pinggiran. Baginya belajar mengaji kehidupan lebih menguatkan hatinya, merubah sikapnya. Itulah yang ia alami saat berada di kios cukur rambut, ia sering mendapatkan cerita pengalaman dari kuli bangunan, tukang becak, bapak-bapak angkringan, ataupun penjual susu segar yang mampir untuk mencukur rambut.

Mungkin jika di pesantren maqam yang pas untuknya adalah maqam sendal, tempatnya berada diantara emper masjid atau teras pesantren. Layaknya sebuah sendal ia hanya mengikuti saja kemana kiyainya berjalan. Jarang sekali sendal diperhatikan seseorang. Tak sebagaimana seperti pecis dan sorban yang selalu disorot keberadaannya. Umumnya para santri memang ingin menjadi pecis dan sorban kiyainya, ia senang mengagung-agungkan, memuja, dan meninggikan kiyainya. Banyak cerita tentang karomah, keilmuan, kemakrifatan kiyainya. Namun para santri jarang sekali, bahkan terkadang terkesan lupa untuk mengikuti laku dan jalan kiyainya. Perjalanan sebuah sendal tak pernah memiliki kepastian, kadang ia berada di jalan yang mulus, terkadang becek, terjal, kadang berduri, bahkan kadang di tempat kotor. Abid menyamakan dirinya dengan sendal, ia tahu resikonya mengikuti langkah kiyai. Terkadang ia harus mendapat bau kotoran, meskipun ia sudah berubah pasti tetap saja ada orang yang mengingatnya sebagai anak nakal. Terkadang ia juga harus terkena duri, meskipun mencoba ingin mengikuti sikap jujur kiyainya namun bisa saja hasilnya malah ia akan dibodohi dan ditipu orang lain.

“Mas..mas..”
“Mas..mas.. bangun!, sudah malam mas..”
Tiba-tiba terdengar suara bapak takmir masjid yang mencoba membangunkan Abid sedang tidur nyender tiang di teras masjid. Mendengar suara itu Abid pun terperanjat kaget, ia melirik-lirik jam masjid ternyata sudah pukul 21:10. Ia pun ahirnya bergegas untuk melanjutkan perjalanannya, sambil menyalami bapak takmir masjid ia berjalan menuju motornya. Kemudian digenjotnya keras-keras motor bututnya itu melaju kencang ke tempat ngaji. Dalam perjalanan benaknya berucap “semoga saja ngajinya belum selesai”.

Foto Ilustrasi: Cakshon. Com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *