Rabies dan Budaya Suku di Indonesia

Oleh : Putri Nur Fadhilah

SuaraBojonegoro.com – Di Indonesia, rabies dilaporkan pertama kali pada tahun 1884 pada seekor kerbau dan kemudian tahun 1889 pada seekor anjing di Provinsi Jawa Barat. Kejadian pada manusia dilaporkan pada tahun 1894 juga di provinsi yang sama. Sampai sekarang sudah 24 provinsi dinyatakan tertular rabies, dengan demikian hanya tinggal 9 provinsi yang masih dinyatakan bebas. Pulau Bali adalah provinsi ke-24 yang tertular rabies pada November 2008.

Serangan rabies dapat dikatakan sangat rentan terutama bagi wilayah-wilayah di Indonesia yang masih bebas. Setelah rabies dilaporkan di Pulau Nias yang letaknya sebelah barat Pulau Sumatera di Samudera Hindia pada Maret 2010, kemudian kasus terbaru terjadi di Pulau Larat, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku pada akhir Juli 2010.

Perdagangan Antar Pulau

Tidak dapat disangkal bahwa perdagangan antar pulau menjadi faktor penting yang memicu munculnya kasus-kasus baru di provinsi-provinsi yang semula secara historis bebas rabies. Seperti penyebab munculnya rabies di Provinsi Maluku diduga melalui anjing yang dibawa oleh para nelayan dari Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Begitu juga dugaan tentang tertularnya Pulau Bali, dimana ada beberapa anjing oleh pemiliknya dibawa berlayar dengan perahu ke daerah tertular rabies, kemudian kembali lagi ke Bali. Ada kemungkinan anjing tersebut digigit anjing di daerah tertular rabies.
Penyebab munculnya rabies di Bali dibuktikan dengan analisa filogenetik virus. Suatu penelitian yang dilakukan Universitas Udayana dengan membandingkan data sekuens dari virus-virus rabies Indonesia yang ada di GenBank menunjukkan bahwa virus rabies Bali memiliki karakteristik yang mirip dengan virus-virus yang ada di Sulawesi dan Flores. Penemuan yang mengindikasikan bahwa virus masuk ke Pulau Bali melalui perdagangan hewan antar pulau.

Anjing dan Budaya di Indonesia

Kurangnya motivasi pemerintah, isu-isu budaya dan keterbatasan dana masih tetap menjadi hambatan bagi keberhasilan memberantas rabies bukan hanya di Indonesia, akan tetapi di hampir semua negara berkembang yang mengalami masalah rabies. Peran anjing dalam budaya suku di Indonesia terkait dengan perannya yang bukan hanya sebagai penjaga rumah, akan tetapi dalam banyak hal terkait dengan sosio-ekonomi, agama dan kepercayaan.
Di Pulau Flores hampir semua rumah tangga memiliki anjing. Bagi masyarakat Flores anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar. Anjing bagi masyarakat Flores juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru.
Seperti halnya di Pulau Flores, masyarakat Bali sudah sejak zaman dahulu biasa memelihara anjing. Ada ungkapan dari seorang tokoh Puri yang mengatakan bahwa “kalau tidak ada suara anjing, namanya bukan Bali”. Anjing merupakan bagian dari adat dan bahkan ritual. Pada ritual tertentu, masyarakat Hindu Bali menggunakan anjing sebagai salah satu sesajen atau ‘banten’.

Baca Juga:  ISOLASI MERDEKA BUKAN TERPENJARA

Tradisi Berburu Babi Hutan

Suatu tradisi yang unik sejak ratusan tahun di ranah Minang, Provinsi Sumatera Barat dimana suku Minangkabau berdiam adalah berburu celeng atau babi hutan. Tradisi yang dinamakan ‘kandiak’ berlangsung secara turun temurun dimana anjing pemburu yang sudah terlatih digunakan untuk menangkap dan membunuh babi hutan tersebut. Babi hutan di Minangkabau bertubuh besar dan bertaring.

Kekhasan perburuan babi dengan menggunakan anjing di masyarakat Minang yang pada umumnya beragama Islam, bahkan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi pemilik anjing apabila anjingnya berhasil paling cepat menangkap buruannya. Biasanya harga anjing ini menjadi lebih mahal dan bahkan bisa terjadi acara bursa anjing di medan perburuan. Dalam satu kali perburuan, ratusan anjing pemburu biasanya mampu menangkap dua sampai lima ekor babi hutan dan tiap berburu seorang pemburu bisa membawa lebih dari satu ekor anjing .

Sudah menjadi suatu hal yang jamak diketahui bahwa Provinsi Sumatera Barat mencatat kasus gigitan anjing terinfeksi rabies pada manusia dengan jumlah tertinggi di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan Sumatera Barat menunjukkan sepanjang 2009 terdapat 2.545 kasus gigitan anjing terinfeksi rabies pada manusia yang menyebabkan 13 orang tewas. Penyebaran rabies yang cukup tinggi tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan perburuan babi hutan yang diuraikan diatas dan juga keberadaan anjing-anjing liar yang tidak terkendali.

Adu Bagong : Babi Hutan vs Anjing

Satu lagi tradisi unik yang dikenal sejak sekitar 1960-an di beberapa daerah pesisir selatan Jawa Barat, seperti di Kabupaten Sukabumi, Sumedang, Cianjur, Lembang dan Majalengka yaitu adu kekuatan antara babi hutan dan anjing yang disebut ‘adu bagong’. Perburuan babi hutan di daerah ini juga menggunakan anjing dan setelah berhasil menemukan buruannya hidup-hidup untuk kemudian menjualnya ke tempat pejagalan hewan atau pemilik arena adu bagong.

Tidak bisa disangkal adu bagong seperti ini sama sekali bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Menyaksikan babi hutan secara perlahan-lahan kehabisan tenaga, kesakitan dan berdarah-darah akibat gigitan anjing, kemudian meregang nyawa bukanlah satu hal yang bisa diterima semua orang. Para penyayang binatang dan pemerhati kesejahteraan hewan sudah barang tentu menolak keberadaan tradisi ini dan bahkan akan berupaya untuk menghilangkan kebiasaan penduduk di wilayah Jawa Barat tersebut.

Meskipun sejak 2004 provinsi Jawa Barat dinyatakan bebas rabies oleh pemerintah, akan tetapi status tersebut kemudian dicabut pada pertengahan 2008. Pencabutan status bebas itu karena munculnya kasus belasan warga yang dilaporkan positif terserang rabies akibat serangan gigitan anjing liar di Kabupaten Sukabumi.

Baca Juga:  MELURUSKAN PERSEPSI NABI MUHAMMAD SAW, ISTRINYA BANYAK

Konsumsi Daging Anjing di Indonesia

Daging anjing adalah daging pangan yang diproduksi dari anjing yang disembelih. Selain sebagai binatang peliharaan, anjing masih diternakkan dan disembelih sebagai sumber protein di beberapa tempat di dunia.
Di beberapa provinsi di Indonesia, daging anjing disantap sebagai sumber protein baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Masyarakat Minahasa umumnya menyebutkan daging anjing dengan istilah RW (dibaca erwe, singkatan dari “rintek wuuk” yang dalam bahasa Tombulu berarti bulu halus). Masyarakat Batak juga mengenal masakan daging anjing. Daging anjing diberi kode B1 untuk eufemisme, akan tetapi bukanlah merupakan makanan yang paling populer dalam kuliner Tapanuli.

Di Bali, juga banyak dijumpai tempat-tempat makan yang menjual daging anjing, terlebih sate yang terbuat dari daging anjing memiliki komunitas tertentu. Merebaknya isu rabies berpengaruh buruk bagi pedagang RW di kota Denpasar. Sebelum merebaknya isu rabies serta ditetapkannya Bali dalam status kejadian luar biasa (KLB) rabies oleh pemerintah Provinsi Bali, peminatnya tetap tinggi. Para pembeli biasanya memadati warung RW pada sore hingga malam hari, namun kini pembeli menurun drastis.

Dibeberapa kota di Jawa, seperti Solo dan Yogyakarta, penjualan sate dan tongseng dengan menggunakan daging anjing disamarkan dengan sebutan “jamu”. “Sengsu” adalah sebutan tongseng dengan daging anjing (dari tongseng asu).

Mengingat kebutuhan untuk rumah-rumah makan tersebut, maka tidak bisa disangkal bahwa anjing-anjing yang digunakan untuk konsumsi tentunya dipasok dari daerah-daerah tertentu. Hal yang menyebabkan lalu lintas perdagangan anjing sesungguhnya faktual baik antar provinsi maupun antar pulau, akan tetapi sangat sulit diketahui secara rinci apabila akan diawasi dan dikendalikan.

Indonesia belum mempunyai landasan hukum yang bisa mengatur perdagangan anjing dan konsumsi daging anjing. Sekalipun dunia kesehatan hewan Indonesia suatu saat nanti akan mulai memikirkan kemungkinan untuk memperjuangkan undang-undang semacam ini. Kesejahteraan hewan adalah suatu konsep global yang relatif baru untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Indonesia perlu berinisiatif untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang kesejahteraan hewan dan menyiapkan konsep tentang undang-undang rabies tersendiri yang komprehensif dan memperkuat penggunaan pendekatan ‘satu kesehatan’ (one health). Landasan aturan hukum lebih kuat yang bisa diterapkan justru diperlukan saat ini maupun ke depan untuk menyatukan aspek pencegahan, pengendalian dan pemberantasan rabies pada manusia dan hewan. Termasuk aspek kesejahteraan hewan terkait praktek penyembelihan yang manusiawi dan pelarangan perdagangan anjing untuk dikonsumsi atau untuk tujuan lain yang bertentangan dengan perlindungan hewan, keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. (**)

Penulis Adalah : Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga