SuaraBojonegoro.com – Sejumlah petani hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan Mbah Dampu Awang Sumber Makmur, Desa Soko, Kecamatan Temayang, terpaksa Madul kepada pihak Perhutani dan Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Bojonegoro, karena selama ini ditarik dana ‘monosuko’ yang sangat memberatkan. Besarnya rata-rata satu juta hingga Rp 1.5 juta per-petani perpanen.
Bahkan, tarikan dana ‘monosuko’ nilainya mencapai Rp 2 juta perpanen per-petani, kepada petani hutan yang menanam bawang merah.
“Selama ini kami ditarik oleh LMDH dan orang-orang suruhan LMDH sebesar itu pak. Tentu tarikan ini sangat memberatkan para anggota kami,” kata Iswanda, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Mbah Dampu Awang Sumber Makmur, Desa Soko Kecamatan Temayang.
Soal tarikan dana Monosuko ini disampaikan langsung kepada pihak Perhutani dan Cabang Dinas Kehutanan Bojonegoro, yang turut menjadi narasumber, pada sosialisasi Perhutanan Sosial di Balae Desa setempat, hari ini Kamis (9/3/23).
Menurut Iswanda, yang bertugas narik dana monosuko itu adalah LMDH dan oknum warga yang dipercaya oleh LMDH.
Menurutnya, jika ada petani yang kurang bayar dari nilai yang ditentukan, biasanya Ketua LMDH sendiri yang nagih.
Untuk menakut nakuti petani, pihak LMDH ini selalu bilang tarikan tersebut atas perintah mantri atau mandor hutan setempat. “Kalo tidak bayar sesuai kemauan pak Mantri, kita diancam lahannya mau ditutup, ya terpaksa dibayar,” ujarnya.
Mendapat keluhan bernada keberatan itu, pihak Perhutani nampak terkejut dengan besaran tarikan itu. “Ah, masak tarikan sampe sebesar itu,” kata Antok, petugas Perhutani di hadapan sekitar 100 petani hutan.
Sementara Teguh, Kasie Pembinaan Kehutanan Perhutani KPH Bojonegoro menjelaskan, bahwa tarikan dana kepada petani hutan itu bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang harus dibayar para penggarap lahan hutan. “Namun besarnya tidak sebesar itu,” ujar Teguh.
Lalu disambung penjelasan dari Kuntari SST. M.Agr, Kasi Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat (RLPM) Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur Wilayah Bojonegoro, yang menjelaskan bahwa PNBP untuk jagung sebesar Rp 60 perkilogram. Jadi kalo petani panen jagung, per-ton hanya wajib bayar Rp 60.000.
“Dana itu masuk ke negara melalui Perhutani. Sebab Perhutani wajib bayar PNBP dan PBB pertahun ke negara,” jelasnya.
Mendengar pengakuan para petani yang selama ini ditarik dana ‘monosuko’ sebesar satu juta hingga dua juta perpanen, baik Perhutani maupun CDK akan melakukan evaluasi ke jajarannya.
Bagi para petani, yang mendapat penjelasan soal tarikan dana monosuko ini akan menerapkan sesuai aturan yang ada. Mereka bersepakat tidak akan mau lagi ditarik dana monosuko yang mencekik lehernya.
Sementara, Alham M. ubey, Sekretaris Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Kinerja Peduli Aset Negara (LSM PK PAN), selaku pendamping Perhutanan sosial, meminta pihak Perhutani menjelaskan secara transparan besaran dana yang hrus dibayarkan petani, sesuai ketentuan.
Kepada petani juga disarankan agar berani menolak membayar jika dirasa memberatkan. “Bayarlah sesuai ketentuan yg transparan. Dan, setiap membayar hrus minta kwitansi resmi dari Perhutani. Jika tidak diberi, tahan dulu, jangan dibayar dulu,” kata Alham.
Menurut mantan reporter RCTI ini, keluhan demi keluhan petani hutan selama ini cukup banyak, selain soal tarikan dana monosuko yang besarnya suka-suka penariknya. “Besarnya tidak jelas. Tidak disesuaikan dengan luasan lahan yang digarap petani. Lain kecamatan beda pula besarnya, apalagi petani bawang merah, lebih besar lagi dana monosukonya, mencapai dua juta, gila gak,” ujarnya. (Lis/Red)