Oleh : Isdaryanto
SuaraBojonegoro.com – Utang-piutang, adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, dimana salah satu pihak kesulitan, meminta bantuan kepada pihak lain berupa pinjaman sejumlah uang. Utang-piutang adalah perikatan perdata yang terjalin antara satu pihak dengan pihak lainnya dimana pihak yang satu menyerahkan sesuatu (barang / uang) dengan janji dan kewajiban mengembalikan bagi pihak lainnya dalam waktu tertentu bisa berikut bunga ataupun tidak.
Dalam perkembangannyau utang-piutangsudah tidak lagi dalam bentuk yang sederhana, antara orang dengan orang, untuk penyerahan barang / uang secara kontan, penulis menyebutnya sebagai utang-piutang konvensional. Dalam perkembangannya, utang-piutang kemudian dijamin dengan jaminan benda bergerak, disebut dengan istilah Gadai (Pasal 1150 KUHPerdata). Gadai sendiri juga berbeda dalam praktiknya ada yang para pihaknya menundukkan diri pada KUHPerdata, ada yang menundukkan diri pada Hukum Adat.
Utang-piutang dengan jaminan benda bergerak kemudian berkembang pula dengan adanya lembaga Jaminan Fidusia (UU No.42 tahun 1999), sedangkan dengan jaminan benda tetap / tidak bergerak (tanah) dikenal dengan Hak Tanggungan (UU NO.4 tahun 1996). Para pihak yang terlibat didalamnya juga bukan lagi person to person (orang perorangan) melainkan juga badan usaha, lembaga perbankan, lembaga pembiayaan (finance), dan badan hukum lainnya.
Dalam tulisan ini, mengingat luasnya tema utang-piutang, penulis akan membatasi pembahasan pada utang-piutang sederhana ( penulis menamainya utang-piutang konvensional), tidak akan membahas bentuk hubungan yang rumit dan kompleks. Bentuk utang-piutang yang modern dan “canggih” justru bagi Kreditor sudah sangat terlindungi oleh undang-undang dan peraturan penunjang lainnya. Berbeda dengan utang-piutang konvensional, sering dibuat tanpa tercatat, tanpa ada yang melihat dan mendengar langsung (saksi), manakala terjadi cidera janji, si pemberi utang akhirnya gigit jari, bahkan dalam kenyataan banyak kejadian justru si pemberi utang saat melakukan penagihan mengalami perbuatan yang tidak mengenakkan, ibarat pepatah jawa Nulung malah Kepenthung.
Bahwa, apakah kemudian kita sebaiknya tidak memberikan pinjaman uang / barang kepada saudara, teman, tetangga atau siapapun juga? Tulisan ini bukan bermaksud melarang, namun mencoba menginformasikan sebaiknya bagaimana langkah-langkah kita seandainya akan memberi pinjaman uang / barang kepada orang lain. Bahwa dalam sengketa perdata, hal-hal yang harus dimiliki untuk pembuktian sesuai Pasal 164 HIR (Hukum Acara Perdata) adalah: Surat, Saksi, Persangkaan, Pengakuan, Sumpah. Minimal apabila memiliki alat bukti Surat dan Saksi sudah cukup kuat untuk mengantisipasi apabila terjadi cidera janji. Surat, dalam hal ini adalah alat bukti tulisan, alat bukti tertulis yang dapat menerangkan dan mengukuhkan bahwa telah terjadi utang piutang, menerangkan waktu dan tempat terjadinya, nominal yang diperjanjikan, serta tenggat waktu pengembalian, ditandatangani kedua belah pihak. Dalam praktiknya yang banyak terjadi menggunakan kuitansi bermeterai ditandatangani, sudah cukup membuktikan. Apabila suatu utang-piutang nilainya besar, akan lebih aman lagi apabila kedua belah pihak menghadap ke Notaris, kemudian dikeluarkan Akta Utang Piutang, sehingga masing-masing pihak memegang Akta Notariil yang nilai pembuktiannya senilai Akta Otentik.
Akta Otentik memiliki nilai pembuktian sempurna sepanjang tidak diajukan bukti lawan yang setara (bukti yang membuktikan sebaliknya yang berupa Akta Notariil juga). Bahwa selain Surat, juga perlu adanya Saksi, untuk memenuhi syarat minimum pembuktian sesuai dengan adagium hukum Unus Testis Nullus Testis ( satu saksi bukan saksi).
Alat-alat bukti selanjutnya seperti Persangkaan, Pengakuan (dari lawan), Sumpah, adalah alat-alat bukti yang relatif lebih sulit untuk disiapkan oleh pihak pemberi hutang karena ditemukan / dilakukan saat pemeriksaan persidangan. Bagi pemberi utang dalam konstruksi utang-piutang konvensional minimal harus menyiapkan surat, tulisan, nota, atau kuitansi yang menjelaskan adanya peristiwa utang-piutang tersebut, juga paling tidak ada orang lain yang tahu dan menyaksikan peristiwa, agar apabila suatu saat terjadi cidera janji dan berlanjut sengketa di pengadilan memiliki bekal yang cukup untuk membuktikan apa yang menjadi haknya.
Kemudian apabila sudah terjadi cidera janji/ wanprestasi oleh si penerima utang, langkah hukum apa yang bisa ditempuh. Dulu orang enggan untuk menggugat / beracara di pengadilan dikarenakan sangat menguras waktu, biaya, tenaga, dan pikiran, apalagi jika ternyata nilai yang disengketakan dipandang tidak sebanding dengan waktu biaya tenaga yang harus dikeluarkan. Hal tersebut sesuai dengan pemeo yang ada dalam masyarakat “jika kita menuntut kambing, maka akan kehilangan kerbau” (Ridwan Mansyur & DY Witanto, Gugatan Sederhana Teori, Praktik dan permasalahannya).
Mahkamah Agung telah berusaha memberikan solusi atas keadaan tersebut dengan membuat terobosan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang pertama Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yaitu penyelesaian sengketa perdata yang nilai tuntutannya paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), yang kemudian diperbaharui dengan diterbitkannya Perma No.4 tahun 2019 yang nilai besaran tuntutannya diperbaharui menjadi paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Perma tersebut memberikan mekanisme penyelesaian perkara yang lebih cepat dengan jangka waktu pemeriksaan hanya 25 hari kerja, disidangkan oleh hakim tunggal, dan juga memangkas beberapa tahapan persidangan. Bahwa Perma tersebut juga membatasi upaya hukum hanya pada tingkat Keberatan (diperiksa Hakim Majelis) di Pengadilan Negeri.
Gugatan Sederhana tidak hanya diperuntukkan bagi perkara perdata sengketa cidera janji / wanprestasi, melainkan juga untuk sengketa yang didasarkan pada tuduhan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Namun dalam penulisan ini, penulis mencoba menginformasikan bahwa salah satu saluran yang paling tepat dalam menempuh upaya hukum bagi cidera janji dalam hubungan utang-piutang konvensional adalah melalui pengajuan Gugatan Sederhana.
Bahwa dalam catatan penulis, perkara sengketa Gugatan Sederhana di Pengadilan Negeri Bojonegoro sampai dengan pengajuannya saat ini masih didominasi lembaga perbankan dan lembaga pembiayaan. Masyarakat umum yang sifatnya perorangan masih sangat jarang menempuh upaya Gugatan Sederhana tersebut. Masih diperlukan adanya sosialisasi untuk memperkenalkan Perma Gugatan Sederhana sebagai salah satu terobosan dari Mahkamah Agung untuk menyederhanakan tata cara penyelesaian sengketa dengan nilai paling besar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kemudian terhadap utang-piutang konvensional sebagaimana diuraikan diatas apabila terjadi cidera janji apakah bisa dilaporkan ke ranah pidana? Sepanjang bentuk dasar dari hubungan hukum itu adalah perjanjian / perikatan perdata, maka utang-piutang konvensional adalah sebuah perikatan perdata. Kapan perikatan itu lahir ? sesuai pasal 1233 KUHPerdata berbunyi : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang. Maka apabila perikatan itu dibuat para pihak, seketika perikatan itu terjadi setelah adanya Persetujuan atau Kesepakatan.
Kesimpulan dari tulisan ini yang dapat ditarik adalah sebelum kita membantu orang lain dengan memberikan utang, agar “padhang neng ngarep, padhang neng mburi” / terang didepan, dan terang dibelakang harus mengantisipasi dengan langkah-langkah menyiapkan bukti tertulis / surat, memiliki saksi, dan apabila terjadi cidera janji, upaya yang ditempuh adalah melalui gugatan di pengadilan untuk nilai gugatan paling besar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) adalah melalui mekanisme Gugatan Sederhana. Semua penyelesaian harus sesuai prosedur hukum, tidak main hakim sendiri dengan cara ancaman baik perkataan maupun fisik, atau membawa paksa barang-barang si berutang tanpa seijin pemiliknya, karena akan menimbulkan persoalan hukum baru. (**)
*) Penulis adalah Humas Pengadilan Negeri Bojonegoro