Money Politik Pilkades di Kepulauan Kangean

Oleh : Rizky Andriani

Tahun Ini PILKADES di kepulauan Kangean kabupaten Sumenep akan diselenggarakan serentak pada tanggal 14 November 2019 ini, dalam pemilihan kepala desa ini sudah sering terjadi pembelian suara atau melakukan dugaan money politik untuk sama-sama berkompetisi agar mendapatkan suara paling banyak, jadi para calon sudah harus bisa mengambil hati masyarakat/membeli suaranya supaya menyoblos nomor yang ia tempati.

Berhubungan dengan dugaan money politik disini sudah menjadi budaya dalam dunia perpolitikan, soalnya konflik ini bukan Cuma terjadi sekarang tapi selalu terjadi tahun ke tahun apabila sudah tiba waktunya PILKADES dan semacamnya. Dan saking terlalu biasa sehingga satu suara itu bisa mencapai 1 juta rupiah, tidak terbayang kan kalau dalam 1 Rumah itu biasanya terdiri dari berapa orang minimal 5 lah, jadi kita bisa menghitung dari sini berapa uang yang kita dapatkan perkepala belum ditambah lagi kepala lain. Dan uang sogokan seharga 1juta itu di kepulauan kangean tersebut sudah dianggap biasa karena para calon pasti akan menghalalkan segala cara supaya bisa mendapatkan suara terbanyak.

Kadang juga para calon meskipun uangnya tidak memungkinkan untuk membeli suara masyarakat ia akan tetap memaksa dengan melakukan segala cara demi gengsi yang mereka miliki, bahkan ada yang rela berhutang/menjual apa yang mereka punyak dan dianggap berharga misalnya, tanah, perkebunan (parse) dalam bahasa kangeannya yang dimaksud parse disini adalah perkebunan yang ditanami pohon kelapa, padahal dengan membeli suara seperti itu juga belum tentu akan menjamin mereka bisa menang dengan menggunakan hal kotor seperti itu, sebab masyarakat pasti lebih membutuhkan kepala Desa yang bisa menepati janjinya dan menjalankan semua visi-misi yang ia sampaikan, tapi jaman sekarang ini memang sangat sulit untuk mengetahui mana yang lebih Amanah sehingga bisa menjadikan Desa itu sejahtera, karena kebanyakan warga yang sudah di PHPin bahasa kerennya atau bisa dibilang cuma dikasih omong kosong, ibaratkan kacang lupa kulitnya, jika sudah resmi menjadi kepala desa ia mendadak lupa terhadap visi dan misi yang pernah ia katakan jadi mungkin itu adalah alasan kenapa warga lebih memilih disogok dengan uang.

Baca Juga:  BPD Kedungadem Belum Dilantik, Proses Pilkades Butuh Pengawasan

Tapi disini juga tidak semua calon kades melakukan hal-hal kotor seperti itu dan tidak semua warga juga yang mau suaranya dibeli, karena masih ada juga disini calon kades yang melakukan semua itu dengan cara yang cukup elegan sehingga dapat mengambil perhatian dari para warga, sebab warga lebih membutuhkan bukti dari omongan yang keluar dari mulut para calon kades tersebut bukan cuma janji manis yang ujung-ujungnya bakalan terlupakan begitu saja. Jadi kita disini harus bisa menjadi masyarakat yang smart ketika sudah menghadapi pilkades seperti ini, kita lihat dulu orang yang mau kita coblos itu seperti apa, apakah dia pantas untuk kita jadikan kades atau tidak? Jika tidak maka jangan pilih dia, karena masa depan desa kita itu ada di tangan kita, jika kita salah dalam memilih kades maka nasib desa kita akan amburadul kedepannya, jadi berhati-hatilah dalam memilih karena kesejahteraan desa kita itu sangat penting untuk semua warga yanga ada di dalamnya.

Jangan terbuai dengan uang yang ditawarkan sebanyak apapun itu karena masa depan desa kita jauh lebih berharga ketimbang uang. Jika suara saja bisa mereka beli apalagi hal-hal yang lain, bisa-bisa nanti kalau sudah jadi uang yang harusnya disuruh dibagikan kepada warga yang tidak mampu malah diembat sendiri (dikorupsi), sehingga itu semua akan menjadi boomerang dalam kehidupan kita kedepannya. Tapi nyatanya di zaman sekarang ini minimum orang yang mau memikirkan hal itu, karena kebanyakan masyarakat sekarang lebih mengutamakan uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari mereka kadang tidak memikirkan bagaimana nasib desanya nanti jika dipimpin oleh orang-orang yang hanya besar omongannya sedangkan tindakan nol besar.

Kurangnya pendidikan di daerah perdesaan terbelakang yang menjadi faktor utama masyarakat desa terlihat Apolitis kegitan jual beli suara saat menjelang PILKADES sudah menjadi fenomena yang wajar di samping itu pengetahuan tentang politik sangat minim sehingga calon kades yang mampu memberikan tawaran imbalan atau timbal balik yang paling tinggi maka masyarakan cendrung akan memilih karena menggap bahwa ketika demikian maka ketika terpilih nantinya dia akan tetap seperti itu (suka memberi). Anggapan inilah yang nkemudian menjadi celah para calon kades untuk meyakinkan masyarakat desa dengan memberikan banyak tawaran-tawaran baik itu uang maupun barang-barang lain.

Baca Juga:  Antara Hoax di Pemilu 2019 dan Demokrasi Pancasila

Politik di pedesaan sudah melenceng dari hakikatnya sudah keluar dari ranah demokratis yang semestinya menjadi dasar dan acuan dalam melakukan Pilkades, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah kurangnya pengawasan dari pemerintah pusat atau badan yang mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pilkades khususnya di pedesaan, kemudian tidak adanya kepedulian pemerintah untuk memberikan pendidikan tentang politik hal inilah yang menjadi kebutuhan yang begitu urgen untuk dipenuhi mengingat mayoritas masyarakat pedesaan tidak mampu mengeyam pendidikan senggi begitu mudah di propaganda mudah di pengaruhi sehingga menyebabkan lunturnya nilai-nilai demokrasi yang seharusnya melekat dalam masyarakat sebagai sebuah landasan untuk bertindak.
Pada akhirnyapun ketika kepala desa terpilih dan seharusnya sudah melakukan program kerja baik itu pembangunan desa, dan lain sebagainya tidak dilakukan sebagaimana amnah yang di berikan masyarakat malah dari kebanyakan kepala desa lebih memilih untuk mengalokasikan dana desa dan anggaran lainnya untuk kepentingan pribadi dan hal itu sudah biasa dilakukan karena di daerah pedesaan tertinggal terlalu di biarkan oleh pihak yang berwajib, KPK pun tidak masuk ke daerah yang sulit di jangkau seperti pedesaan di kepulauan kecil, saya sendiri bingung apakah mereka capek untuk menyusuri setiap pedesaan atau seperti apa saya tidak begitu paham tetapi kalau memang pada kenyataannya seperti itu berarti banyak kecacatan yang terjadi di lembaga yang bersangkutan. (**)

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang.

Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab Redaksi.