MENJAGA KESTABILAN KEKUASAAN DENGAN BERAS

Oleh: Isna Yuli (Women Movement Institute)

SuaraBojonegoro.com – Sebanyak 12.000 ton beras masih menumpuk di gudang Bulog yang ada di Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Hingga kini beras itu masih belum dipastikan pendistribusiannya.

Fakta penumpukan stok beras tidak hanya ada di wilayah jawa timur saja, tapi secara global jumlah stok beras di gudang Bulog mencapai ambang batas normal. Sedangkan saat ini petani sedang menjalani masa panen. Yang otomatis keadaan ini membuat risau petani.

Sebab tidak hanya kehawatiran tidak terserapnya beras petani oleh Bulog, tapi yang lebih penting dari itu adalah masalah harga.
Disisi lain di awal tahun ini Bulog mengeluarkan wacana mengejutkan yaitu rencana ekspor beras. Bukankah baru kemarin pemerintah gegap gempita menugaskan Bulog untuk impor beras? Fakta yang sebenarnya sampai saat ini, stok beras yang tersimpan di gudang-gudang Bulog di seluruh Indonesia masih 1,6 juta ton.

Lebih dari separuhnya adalah beras impor yang didatangkan tahun 2018 lalu. Padahal saat ini petani berada pada masa panen.

Sebagai pembanding, batas aman stok Bulog untuk akhir tahun adalah 1,5 juta ton. Artinya, stok Bulog saat ini bahkan masih ideal untuk posisi akhir tahun lalu. Harusnya menjelang panen, stok Bulog sudah jauh di bawah itu agar bisa sebanyak-banyaknya menyerap beras dari petani. (Kumparan.com)

Baca Juga:  KEDEWAN YANG TAK PERNAH TERWAKILKAN

Kecemasan inilah yang membuat Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso ingin segera melepas beras dengan cara ekspor.
Menumpuknya stok beras di gudang Bulog dipengaruhi oleh dua hal, pertama; Sejak dihilangkannya program beras sejahtera (rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) oleh Kementerian Sosial (Kemensos) tahun lalu, Bulog memang kehilangan 70 persen pangsa pasar. Sebab, selama ini Bulog hanya mengandalkan dari penyaluran rastra yang mencapai 250 ribu ton dalam mendistribusikan beras. Dan saat ini program itu sudah tidak ada.

Kedua, adanya kebijakan impor beras yang dipaksakan kepada Bulog. Indonesia memang bukanlah satu-satunya Negara Asia yang masih mengimpor beras setiap tahunnya. Tapi Indonesialah yang besar jumlah impornya. Alasan yang sering menjadi dasar pemerintah saat impor adalah soal pemenuhan kebutuhan dan stabilisasi harga. Alibi ini memang tak mengada-ada. Pertengahan tahun 2018 sebagian besar petani mengalami gagal panen dikarenakan banyak hal, diantaranya kemarau panjang.

Selain itu luasnya alih fungsi lahan juga mempengaruhi hasil panen. Tapi kedua faktor tersebut itu tidak berpengaruh signifikan terhadap stok beras di gudang Bulog.
Oleh karenanya kebijakan impor beras dinilai terlalu tergesa-gesa bahkan dipaksakan. Selain tidak sesuai dengan cita-cita besar pemerintahan Jokowi dengan swasembada pangan dalam 3 tahun kepemimpinan, impor beras juga merugikan petani. Kebijakan impor beras akan bermanfaat jika pemerintah mampu menstabilkan harga beras dipasaran, dan memastikan kestabilan harga gabah di petani. Tapi ini tidak terjadi.

Baca Juga:  UTANG NEGARA MENURUN SEJAK AWAL TAHUN 2022    

Memang ketersediaan beras menjadi salah satu hal pokok bagi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga. Namun hal ini justru banyak dimanfaatkan oleh importir guna meraup keuntungan. Mereka melakukan segala cara termasuk memiskinkan petani agar bisa mendatangkan beras impor. Sebab untungnya bisa mencapai 130-170 persen.

Permasalahan krusialnya terletak pada pemerintah yang ternyata bergandeng mesra dengan pihak importir serta pejabat yang terkait impor beras. Tanpa memikirkan nasib rakyat sebagai petani. Sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa).

Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Oleh karena itu tentunya, kebijakan pangan Negara harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi dan ketersediaan sebagaimana dalam sistem kapitalisme. (**)

Foto: katadata.com