Oleh: COACH PRIYO CPS®
SuaraBojonegoro.com – Palang pintu portal naik turun, petugas jaga kesana kemari melakukan cek data. Cek suhu, cuci tangan, wajib Masker, dari mana, mau kemana, tujuannya apa. Tak kalah ketatnya dengan prosedur masuk rumah kedutaan saat ingin mengajukan proposal sumbangan. Desa yang dulu damai, aman, tenteram, kini berubah menjadi siaga, penuh kecemasan, rasa kekhawatiran yang entah kapan tersembuhkan.
Berbagai macam cara selalu di upayakan agar pandemi ini bisa segera teratasi. Peringatan di larang mudik, himbauan jangan pulang kampung, pun kalau terpaksa, berbesar hatilah untuk menempati rumah Isolasi dengan kelegowoan hati.
Bicara tentang rumah Isolasi ini seperti bicara tentang bisnis PELAYANAN JASA. Ada yang merasa jadi customer dan ada yang di minta menjadi penyedia jasa. Sang Customer meminta agar fasilitas jasa yang di berikan betul betul nyaman, menyenangkan plus deretan kebutuhan hidup yang harus di siapkan. Sedangkan sang penyedia jasa merasa bahwa modal yang ada, fasilitas yang di punya adalah yah, begitu adanya. Terjadilah transaksi bisnis yang di paksakan. Harus mau karena adanya ya cuma begitu.
Menurut kita selaku orang desa, ini sudah layak tapi, menurut anda selaku orang kota itu di rasa tidak nyaman. Ketika LAYAK dan NYAMAN di pertentangkan, di sinilah awal mula ketidakcocokan. So, selamat datang Masalah!
Genderang perang sudah di kumandangkan tapi persiapan perang tergantung rasa peduli masing-masing orang. Ada yang berjuang habis-habisan untuk melakukan Pencegahan tapi, ada juga yang masih santai dan menganggap Belanda masih jauh. Santai lur, desa kita aman, gak usah terlalu ketat, gak usah ribet pakai masker, gak perlu repot cuci tangan.
_”Itu keluargaku. Gak usah di masukkan rumah Isolasi, biar Isolasi di rumah sendiri saja”_ kata Pak Udin ketika anaknya baru pulang dari rantau zona merah.
_”Aku ini sehat, gak punya penyakit. Aku gak betah di rumah Isolasi. Kamar gerah, gak ada kipas, ruangan bau, kasur tipis, bantal kempes, kamar mandi kotor, ruang gerak terbatas. Gak bisa jalan, gak bisa olahraga, makan susah,Bisa mati stress kalau begini keadaanya. Aku mau pulang ke rumah sendiri. Gak mau di sini”_ Kata Anton, pemuda pendek, berbadan tegap, berotak dangkal, bergaya sok jagoan.
APA YANG TERJADI? Terjadilah negoisasi tentang bagaimana baiknya saja, yang penting gak ribet, gak repot, gak gaduh. Anda senang, kami tenang. Maka, terjadilah yang namanya Isolasi Mandiri dengan berbagai macam persyaratan prosedural yang entah ada JAMINAN di lakukan atau di lupakan. Inilah awal mula akan terjadi “KECOLONGAN”.
Secara jelas kita mengetahui adanya ‘POTENTIAL DANGER” tapi kita menerimanya dengan lapang dada dengan alasan Tenaga medis yang kurang, APD yang tidak memadai, petugas jaga yang entah dimana dan bagaimana interaksi antar keluarga di rumah mereka. Apakah sudah sesuai dengan Standard Operational Procedure Isolasi mandiri atau semaunya sendiri?
Kalau seperti ini, ini seperti mempersilahkan ular liar masuk rumah sendiri. Apakah ular ini jinak atau menggigit? apakah ular ini berbisa atau mematikan?
Jawabannya akan di ketahui setelah sudah terjadi.
Lalu, bagaimana seandainya jika ular ini betul menggigit dan berbisa?
Maka bersiaplah seperti Wuhan, Roma, dan kota terpapar virus lainnya. Desa akan lumpuh, desa akan susah. Kalau desa sudah lumpuh, maka kota akan hancur. Kekuatan pangan ada di desa. Ketika desa hancur, wabah kelaparan akan lebih ganas dari Corona.
Self Awareness atau kewaspadaan diri. Tingkat kewaspadaan diri yang di tuangkan dalam bentuk upaya pencegahan. ini tidak bisa di ukur secara matematika tapi ini bisa di lakukan jika rasa peduli ingin mencegah betul-betul tinggi.
Kalau pemangku kebijakan tegas dan masyarakat siap di ajak mencegah dengan konsep “HIGH SELF AWARENESS (kewaspadaan diri tingkat tinggi) maka kita akan menang melawan virus ini. Kita tidak akan memberikan kesempatan ular untuk masuk ke rumah sebelum ada pembuktian apakah ular ini sudah di jamin aman.
Tapi kalau Pemangku kebijakan tidak tegas, masyarakat masih mementingkan kepentingan sendiri maka lihat saja apa yang akan terjadi. Kalau terbukti ular ini betul-betul menggigit, berbisa dan mematikan, Maka semua upaya pencegahan akan sia-sia. Ini akan mengancam keselamatan keluarga dan seluruh desa. Semua awal kehancuran ini di mulai dari kewaspadaan diri yang lemah dan upaya pencegahan dini yang salah.
Kalau memang INTI MASALAHNYA adalah rumah Isolasi yang kurang layak dan tidak nyaman maka INTI MASALAH inilah yang harus kita perbaiki, harus kita atasi. Jangan kok malah di alihkan ke tempat yang di anggap lebih membahayakan. Niat ingin mengatasi masalah tapi berpotensi menimbulkan masalah yang lebih bermasalah lagi.
JADI, APA YANG HARUS DI LAKUKAN?
Mari saling bahu membahu, bekerja bersama agar rumah Isolasi kita bisa nyaman demi keselamatan banyak orang. Kucurkan anggaran desa semaksimal mungkin, jika kurang, kumpulkan donasi, ajak masyarakat terlibat, mari gotong royong untuk menyiapkan rumah Isolasi yang layak dan nyaman demi keselamatan desa kita bersama.
Jangan coba-coba mengambil resiko bahaya jika kita tidak ingin mendapatkan bahaya. Mari kita pikirkan untuk mencari solusi yang aman kalau kita ingin aman. Solving Problem skill itu adalah kemampuan menyelesaikan masalah bukan memindahkan masalah ke tempat lain yang cenderung mendatangkan masalah baru.
*)Penulis adalah seorang Certified Public Speaker’s, Trainer, Author, Founder & CEO Red Angels Kampung Tumo