Oleh : Didik Mukrianto
*)Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI Calon Anggota DPR RI Dapil Jatim IX (Bojonegoro-Tuban)
SuaraBojonegoro.com – Politik dan kesadaran berdemokrasi di Indonesia harus ditujukan sepenuhnya untuk mengutamakan kepentingan rakyat , termasuk dalam pembangunan di negeri ini. Terutama ketika Indonesia menghadapi tekanan ekonomi, yang berimplikasi pada kesejahteraan rakyat. Membangun politik yang beradab menjadi pondasi kuat agar out put demokrasi mampu menjadi konsensus bersama para stake holders bangsa dalam melahirkan solusi besar untuk rakyat, untuk bangsa, dan bukan partial untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu, apalagi orang-orang tertentu. Adil & Makmur secara bersama-sama, bukan Adil & Makmur sendiri-sendiri;
Esensi dari politik yang beradab adalah adanya kekuasaan yang amanah dan tidak korup dalam arti tidak disalahgunakannya kekuasaan itu; terjaminnya hak-hak politik rakyat termasuk kebebasan berbicara; demokrasi yang tertib, tidak anarkis dan taat pada pranata hukum; dan pers yang merdeka namun juga bertanggung jawab.
Politik juga “civilized”, atau berkeadaban, jika semua menghormati dan mematuhi hukum, sistem politik & demokrasi secara konstitusional. Penyelenggara Pemilu, Penyelenggara Negara, Penegak Hukum dan segenap alat-alat negara mulai dari tingkat desa hingga pusat mampu menempatkan diri dan mengambil ruang netral, independen dan tidak berpihak. Para pemimpin bangsa, khususnya Kepala daerah wajib menjadi pemimpin rakyat, pengayom masyarakat, menjaga demokrasi untuk tetap berjalan pada rel politik yang bersih dan jujur, bukan sebaliknya bertindak layaknya penguasa yang otoriter yang menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang dan memerintah sesuai selera untuk kepentingannya dengan melakukan segala bentuk penekanan, dan tindakan yang tidak terpuji untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Euforia kekuasaan bukan dengan cara-cara serampangan, meninggalkan etika dan hak-hak rakyat. Kepala daerah adalah mandat rakyat, bukan mandat sekelompok orang. Hakikat kekuasaan itu untuk melindungi rakyatnya, menjaga keseimbangan dalam kehidupan politik dan demokrasi, bukan sebaliknya amanah rakyat diperalat untuk melegitimasi tindakan penyimpangan untuk melakukan penekanan. Kekuasaan selalu ada batasnya, baik konstitusi, aturan dan etika. Mestinya kekuasaan yang berasal dari mandat rakyat harus digunakan secara adil dan bijaksana.
Kehidupan politik yang baik juga bebas dari represi kekuasaan terhadap rakyatnya. Sementara, rakyat dengan dalih kebebasan juga tidak boleh melakukan tindakan melawan hukum serta mengganggu ketertiban dan keamanan publik.
Kita harus terus membangun politik dan demokrasi yang makin matang, makin berkualitas dan akhirnya makin beradab. Kita juga terus diuji apakah dalam perjalanan bangsa ini, termasuk pemilu yang akan kita laksanakan, politik dan demokrasi yang beradab itu dapat kita jaga dan kembangkan.
Menjelang pemilihan umum 2019, politik akan makin memanas. Banyak godaan dan ujian yang akan kita hadapi.
Negara kembali akan diuji apakah Pemilu 2019 ini dapat berlangsung secara damai, adil dan demokratis. Peaceful, free and fair election. Tiga pemilu sebelumnya ~ Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, berlangsung secara damai, adil dan demokratis. Sejarah akan menguji apakah negara dapat mempertahankan prestasi ini.
Kita akan diuji, apakah untuk meraih kemenangan dalam pemilu, ada yang tergoda menghalalkan segala cara. Termasuk menyalahgunakan kekuasaan, melanggar Undang-Undang serta menghalang-halangi pihak lain untuk menjalankan kampanye pemilu yang semestinya.
Kita akan diuji apakah pemilu ini bisa mencegah politik uang (money politics) yang makin menjadi-jadi. Demokrasi akan runtuh dan rakyat akan dikebiri manakala uang menjadi penentu segala-galanya. Gelap politik kita kalau uang digunakan sebagai alat untuk membeli suara rakyat dan juga sebagai transaksi terbangunnya pondasi kekuasaan.
Kita akan diuji apakah pemilu ini bebas dari intimidasi yang akan mengganggu kedaulatan rakyat untuk menjatuhkan pilihannya. Kekuatan atau power yang dimiliki oleh siapapun tidaklah boleh untuk mengintimidasi dan memaksa seseorang agar memilih.
Kita akan diuji apakah politik identitas yang melebihi takarannya akan dimainkan oleh para kandidat dan partai-partai politik peserta pemilu. Di negara manapun, selalu ada korelasi antara identitas dengan preferensi pemilihan dan politik. Namun, apabila melebihi kepatutannya dan secara membabi buta dijadikan “penentu” untuk memilih seseorang ataupun partai politik tertentu, demokrasi kita akan mundur jauh ke belakang.
Kita akan diuji apakah pers dan media massa bisa bertindak adil dan memberikan ruang yang berimbang bagi para kandidat dan kontestan peserta pemilu. Media massa adalah milik rakyat, milik kita semua. Janganlah media massa tidak lagi independen dan berimbang dalam pemberitaannya lantaran tekanan pemilik modal dan pihak-pihak tertentu.
Dan kita akan diuji, apakah perangkat negara termasuk intelijen, kepolisian dan militer netral dan tidak berpihak. Ingat, TNI, Polri dan BIN adalah milik negara, milik rakyat Indonesia. Akan mencederai sumpah dan etikanya kalau aparat negara tidak netral. TNI, Polri dan BIN harus belajar dari sejarah, bahwa karena kesalahan masa lampaunya, rakyat terpaksa memberikan koreksi.
Pendek kata, dua bulan mendatang ini, kita semua akan diuji oleh sejarah. Siapa yang lulus dan siapa yang tidak lulus.
Untuk itu Saya mengajak Kita semua untuk tidak menjalankan dan masuk ke dalam politik identitas, atau politik SARA. Jangan sampai untuk mengejar kemenangan, kita mengorbankan persatuan, persaudaraan dan kerukunan di antara sesama elemen bangsa. Jangan sampai kita ikut menyemaikan benih- benih perpecahan dan disintegrasi yang sangat membahayakan masa depan bangsa kita.
Dalam kampanye pemilu, kampanye negatif memang tidak bisa dihindari. Ini juga terjadi di negara lain. Namun, kita harus mencegah digunakannya fitnah, hoax dan ragam kampanye hitam yang lain. (**)