Oleh : H. Sholikin Jamik
SuaraBojonegoro.com – “Wah…pisangnya bagus-bagus Mbah…” kataku sembari berjongkok didepan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar…
“Lha monggo dipundut (dibeli)… kata perempuan itu riang.
Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling (masih nyaring), riang. Giginya terlihat masih utuh.
“Ini kepok kuning… bagus dikolak.
Ini kepok putih… kalau digoreng sangat manis… Lha kalau itu… pisang pista, kulit tipis… harum manis. Tapi jangan dibeli karena belum mateng…
Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun telah ndredheg (gemetar).
“Sudah lama jualan, Mbah…?”
“Belum, ini ngejar rejeki buat lebaran.”
“Putranya berapa Mbah?”
“Kathah (banyak)… pada glidik (kerja)…”
“Kok nggak istirahat saja to Mbah… siyam-siyam kok jualan”.
“Lha nggih, ini karena siyam niku to , nggak boleh istirahat…” Mumpung Gusti Allah paring (beri) sehat…”
Aku tercenung dengan jawaban perempuan sepuh itu….
Kulihat tangannya mengelap kening dan dahinya yang dlèwèran (bercucuran) keringat dengan selendang lusuhnya… Diantara para penjual ‘liar’ dipinggir jalan depan pasar itu, perempuan sepuh ini satu diantaranya yang menggelar dagangan tanpa iyup iyup (peneduh). Padahal hari itu panas luar biasa.
“Kalau pulang jam berapa Mbah?”
“Jam tiga sudah pulang… lha ada kewajiban nyiapkan wedang (minum) buat buka anak-anak TPA.”
“Kok kewajiban, yang mewajibkan siapa Mbah ?”
“Nggih kula, (ya saya sendiri)…”
“Ooo…begitu…. Setiap hari, selama puasa?”
“Inggih… wong cuma anak limapuluhan…”
“Wah panjenengan (anda) hebat nggih Mbah…”
“Halah cuma wedang sama pegangan kecil-kecil…Yang penting bocah-bocah rajin ngaji… mbah sudah seneng. Jangan bodoh kaya Mbah ini yang cuma bisa Fatihah…”
Aku makin tercekat. Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
“Kok banyak banget… mau buat apa, mas? Tanya si mbah heran.
Aku hanya tersenyum. “Semua berapa Mbah?”
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal yang membuatku tercengang. “Kok murah banget Mbah…”
“Mboten (ah enggak)… itu sudah pas, ini bukan pisang kulakan (dari beli), panen kebun sendiri…”
“Nggih…matur nuwun…”kataku sembari mengulurkan uang.
“Aduh… nggak ada kembalian , belum kepayon (laku)…”
“Saya tukar dulu Mbah…”
Aku sengaja meninggalkan perempuan sepuh itu. Pisang telah kuletakkan di mobil. Mesin mobil pun kunyalakan… Agak menjauh dari perempuan sepuh itu… Kumasukkan beberapa lembar uang 10an ribu yang masih baru, ke dalam amplop. Cukup dibagi satu satu untuk anak TPA yang katanya berjumlah limapuluhan tadi. Penutup lem amplop kubuka lalu kurapatkan.
Ini mbah, sudah saya tukar, sudah pas nggih…”
Perempuan sepuh itu menerima amplop masih dengan tangan dredheg gemetar. Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi.
Esoknya aku mampir lagi… tapi kosong. Berikutnya aku mampir lagi… kosong juga. Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang sebelahnya.
“Mbahe kok nggak jualan Mbak?”
“Oh nggak, beliau… jualan kalau panen pisang aja… Sampeyan to yang kemarin ngasih amplop. Walah Mbahe nangis ngguguk (tersedu2)… jare bejo, (katanya beruntung) & dapet qodaran.”
Barangkali yang dimaksudkan adalah lailatul qodar. Barangkali perempuan sepuh inilah yang mendapatkannya. Bukan karena ia ahli ibadah… Bukan pula karena I’tikafnya yang kuat di masjid. Tapi dialah pelaksana dari yang katanya ‘hanya’ bisa fatihah itu. Kecintaannya yang sederhana dengan penyiapan wedang dan penganan bagi limapuluhan bocah selama puasa, dengan penghasilan jualan pisang yang hanya musiman, sungguh bukan perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa melakukannya !!
Malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan. Tak bisa dijujug dengan akhiran, semua butuh proses, karena karunia terindah butuh wadah. Yang dibangun dengan mengais kebaikan, sebelum, selama dan sesudah Ramadhan tentunya. Inshaa Allah kita bisa meraih Qodaran tersebut.
Aamiin 🤲?
*)Penulis : Dosen STIKES Muhammadiyah Bojonegoro Jatim.