SuaraBojonegoro.com — Ahmad Niamul Abrori, mahasiswa semester tujuh ilmu lingkungan Universitas Bojonegoro (Unigoro), melakukan uji kualitas air sungai Bengawan Solo di Desa/Kecamatan Malo, pada Jumat (27/10/23). Hasilnya, kandungan oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) sangat rendah. Yakni di bawah satu miligram per liter (1 mg/l).
Abrori memaparkan, pengujian kualitas air sungai pada pekan lalu dilakukan di lima titik sekitar Jembatan Malo. Di saat yang sama, sungai di kawasan itu dipenuhi oleh eceng gondok. Uji parameter lapangan ini menggunakan alat DO meter. Hasilnya kadar oksigen terlarut di ke lima titik tersebut berbeda. Rinciannya titik satu 0,5 mg/l, titik dua 0,8 mg/l, titik tiga 04mg/l, titik empat 0,4mg/l, serta titik lima 0,7mg/l. “Kalau mengacu pada PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, baku mutu air kelas empat saja minimal 1 mg/l. Sedangkan hasil uji di sungai Malo justru nol koma sekian. Semakin rendah DO-nya, semakin jelek kualitas airnya. Kesimpulannya yang di Malo itu sangat jauh di bawah baku mutu air. Tidak bisa dikonsumsi, pembudidayaan ikan air tawar, dan sarana rekreasi air,” paparnya pada Kamis (2/11/23).
Dia melanjutkan, selain kandungan oksigen terlarutnya sangat rendah, fakta yang ditemukan di sungai Malo airnya keruh, berbau, bahkan ada belatungnya juga. Terlebih sungai di kawasan itu dipenuhi oleh eceng gondok. Menurut Abrori, salah satu cara untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut di Bengawan Solo adalah membersihkan eceng gondok dari permukaan air. “Agar sinar matahari bisa masuk ke dalam air.
Untuk membantu proses fotosintesis seluruh ekosistem yang ada di perairan untuk meningkatkan kandungan oksigennya. Dampaknya terhadap ikan juga sangat berpengaruh. Kemarin saat kita angkat eceng gondoknya, ikan-ikan mulai muncul ke permukaan. Seperti kehabisan oksigen,” tutur mahasiswa asal Desa Bakung, Kecamatan Kanor ini.
Abrori menambahkan, idealnya uji kualitas air sungai Bengawan Solo dilakukan sebulan sekali. Agar kualitas air sungai bisa terpantau secara kontinyu. Terlebih banyak masyarakat di Kabupaten Bojonegoro yang memanfaatkan air sungai untuk berbagai keperluan.
“Kalau kita tahu angka DO-nya berapa, masyarakat juga semakin waspada dan berhati-hati dalam memanfaatkan air sungai. Contohnya jika sudah terjadi fenomena blooming eceng gondok, mereka tahu dampaknya untuk sungai seperti apa,” pungkas pemuda berusia 22 tahun ini. (Lis/din)