Oleh : Ust. Sholikin Jamik
SuaraBojonegoro.com – Dalam kalender Hijriyah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.
Muharram yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.
Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharram dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharram adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharram Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda,
_*“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”*_ (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, _*“Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.”*_ (HR Bukhari).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda,
_*“Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.”*_ (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharram agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketenteraman terwujud.