SuaraBojonegoro.com — Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Bojonegoro (Unigoro), Dr. Laily Agustina Rahmawati, S.Si., M.Sc., mengungkap kawasan tambang minyak tradisional Wonocolo, Kecamatan Kedewan, dahulu atas dasar laut. Temuan ini berdasarkan hasil riset disertasi berjudul Strategi Pengelolaan Lingkungan Tambang Minyak Tradisional di Kawasan Geosite Wonocolo Geopark Bojonegoro.
Laily menuturkan, tambang minyak tradisional Wonocolo memiliki keunikan tersendiri. Secara geologis, minyak di sana dapat ditemukan di lokasi yang dangkal. Secara historis, aktivitas penambangan telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda atau hampir selama 127 tahun. Sedangkan secara kultural, penambangan minyak masih menggunakan cara tradisional dan mengikuti tradisi turun temurun. Sayangnya, keunikan tersebut sangat kontradiktif dengan kondisi nyata di lapangan.
“Penambangan minyak tradisional dijadikan daya tarik pariwisata. Padahal itu justru merupakan ancaman bagi lingkungan di kawasan Wonocolo. Puncaknya tahun 2019, Geosite Wonocolo gagal dinobatkan UNESCO sebagai Global Geopark dengan alasan buruknya pengelolaan lingkungan di lokasi tersebut,” tuturnya, pada Rabu (31/7/24).
Lima tahun meneliti kawasan tambang minyak tradisional Wonocolo, Laily menemukan fakta unik yang belum banyak diungkap. Di antaranya sungai Wonocolo memiliki kadar salinitas atau kadar garam tinggi, padahal lokasinya jauh dari laut. Di dasar sungai Wonocolo juga ditemukan fosil Makrozoobentos jenis laut, salah satunya Azioxantella yang biasanya hidup di kedalaman 2000 meter bawah permukaan air laut.
Ditambah penemuan 402 spesimen fosil Foraminifera yang teridentifikasi dalam enam ordo dan 15 spesies. “Temuan-temuan tersebut menguatkan teori bahwa dahulu kala kawasan Wonocolo adalah dasar laut. Akibat pengaruh pergeseran lempeng, lalu terangkat ke permukaan,” ungkap wanita yang baru dikukuhkan sebagai doktor ilmu lingkungan Universitas Diponegoro.
Menurut Laily, Pemkab Bojonegoro dapat merespon temuan ini sebagai tambahan daya tarik bagi pengembangan Geosite Wonocolo. Dia merekomendasikan untuk merekonstruksi desa wisata tambang minyak tradisional. Salah satunya sebagai wisata riset dan edukasi. “Bisa diawali dengan pendirian pusat pembelajaran fosil Foraminifera di Museum Geopark Wonocolo Bojoneoro. Selain itu, juga tetap dilakukan perbaikan kualitas lingkungan yang dapat mengadopsi 18 strategi hasil penelitian saya,” terangnya.
Akademisi asal Desa Drajat, Kecamatan Baureno, menambahkan, peningkatan kualitas SDM yang terlibat aktivitas tambang di Wonocolo juga diperlukan. Agar proses ekstraksi minyak tidak merusak lingkungan maupun warisan budaya yang berharga. (din/Lis)