Ketua DPD RI Sampaikan Demokrasi Pancasila Paling Sesuai, Hanya Perlu Penyempurnaan

JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan Demokrasi Pancasila paling sesuai dengan watak dasar negara yang super majemuk. Meski demikian, Demokrasi Pancasila tetap butuh penyempurnaan.

Menurut LaNyalla, tidak seharusnya bangsa ini menjiplak sistem demokrasi presidensial murni yang diterapkan negara-negara barat.

Hal itu disampaikan LaNyalla secara virtual dalam Seminar Nasional ‘Generasi Milenial, Sukseskan Pemilu 2024’ yang digelar oleh Kelompok Studi Literasi Indonesia, Selasa (20/9/2022) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

“Indonesia sudah memiliki sistem sendiri, yaitu Demokrasi Pancasila, tinggal kita sempurnakan saja. Sehingga tidak terjadi lagi praktik penyimpangan seperti yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru,” katanya.

Dijelaskannya, Amandemen Konstitusi yang dilakukan antara tahun 1999 hingga 2002 silam, bukanlah penyempurnaan. Tetapi penggantian Sistem Demokrasi Pancasila menjadi Sistem Demokrasi Liberal.

“Inilah hasilnya. Negara yang jarak bentang dari Sabang sampai Merauke sama dengan jarak dari London sampai Kazakhtan, dan jarak bentang dari Pulau Rote sampai Miangas sama dengan jarak dari Moskow ke Kairo dipaksa meniru negara-negara barat untuk menerapkan demokrasi liberal,” tutur dia.

Sejak Amandemen arah perjalanan bangsa ini tidak lagi ditentukan oleh Lembaga Tertinggi Negara lagi. Karena MPR RI yang mewadahi semua elemen bangsa, dari Partai Politik, Utusan Daerah dan Utusan Golongan-Golongan, telah dihapus sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Baca Juga:  Pemerintah Harus Lindungi Peternak Kecil dari Dominasi Korporasi

Sehingga sudah tidak ada lagi Sila Keempat dari Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

“Itulah mengapa hasil penelitian akademik Pusat Studi Pancasila UGM di Yogyakarta, oleh Profesor Kaelan dan Profesor Sofyan Efendi, menyebut bahwa isi pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar hasil Amandemen sudah tidak lagi menjabarkan Ideologi Pancasila, tetapi justru menjabarkan Ideologi Liberalis dan Individualis,” tukas dia.

“Sehingga tidak heran bila kapitalisme dan sekulerisme semakin menguat dalam 20 tahun terakhir ini,” imbuh Senator asal Jawa Timur tersebut.

Oleh karena itu, LaNyalla mengaku tidak heran juga dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa Demokrasi di Indonesia sedang dalam kondisi tidak baik.

Demokrasi di Indonesia, khususnya Pemilihan Kepala Daerah langsung, dan juga Pemilihan Presiden langsung, menjadi sangat mahal. Dan hanya menghasilkan pemimpin yang tersandera oleh cukong atau bandar yang membiayai.

“Seperti kita ketahui presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mewajibkan partai politik yang dapat mengajukan pasangan Capres dan Cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau 25 persen suara sah nasional. Juga diharuskan menggunakan basis suara dari Pemilu 5 tahun sebelumnya,” ucap dia.

Baca Juga:  Jagong Gayeng Anna Muawanah dan La Nyalla Matiliti Diskusi Soal Konstitusi dan Ketahanan Pangan

Menurut LaNyalla, hampir semua akademisi atau pakar tata negara menyimpulkan pasal tersebut merugikan bangsa dan tidak derivative dari Pasal 6A Konstitusi kita.

“Pasal itu pun memaksa Koalisi yang besar, di sinilah terjadi proses pertemuan antara Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres,” tuturnya.

“Oligarki Ekonomi akan menawarkan untuk membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya membangun koalisi partai, hingga biaya pemenangan dalam proses Pilpres,” imbuh dia.

Oligarki ekonomi dan oligarki politik yang menyatu dan mendisain pemimpin nasional, lanjutnya, akan menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka. Sehingga, oligarki ekonomi semakin membesar dan rakus menguras kekayaan negeri ini. Akibat kerakusan itu menimbulkan kemiskinan struktural yang dipicu oleh ketidakadilan yang melampaui batas.

“Jadi menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Dan peluang ini dipayungi dan dibuka oleh Pasal 222,” paparnya.

Sayangnya, meski Pasal tersebut telah digugat untuk dilakukan Judicial Review puluhan kali ke Mahkamah Konstitusi, tetapi semua gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.(red/Lis)