Ekonomi Kreatif untuk Warga Pinggiran Hutan

SUARABOJONEGORO.COM – Fenomena harga gabah jatuh disaat panen raya, rupanya juga menimpa komoditas jagung. Hampir tiap panen raya petani di Kabupaten Bojonegoro menjerit, karena harga tak seimbang dengan biaya penanaman.

Untuk mengatasi persoalan itu, pasangan Cabup dan Cawabup Bojonegoro, Soehadi Moeljono dan Mitroatin, telah menyiapkan program ekonomi kreatif dengan pengelolaan pengolahan hasil produksi pertanian. Solusi ini akan mampu mengatasi persolaan yang dihadapi petani setiap masa panen.

Petani jagung dari Desa Krodonan, Kecamatan Gondang, Juwito (36), mengaku telah menjual jagung pada awal Maret 2018 lalu, dengan harga Rp3.000 sampai Rp3.500 per kilogram.

“Itu sudah berupa pipilan,” katanya kepada wartawan, Selasa (3/4/2018).

Selama ini, tidak ada pihak swasta maupun pemerintah yang membantu petani jagung dalam menjual hasil panennya. Apalagi bila hasil panen jagung dijual di Pasar Bojonegoro, harganya membikin petani merugi.

“Jadi kami, memilih menjualnya ke Nganjuk atau kabupaten tetangga,” ucapnya.

Murahnya harga jagung ini dikarenakan Bojonegoro tidak memiliki gudang penyangga, dan pengelola gudang pakan ternak. Sehingga dengan terpaksa para petani banyak menjual hasil panennya ke luar daerah.

Persoalan lainnya terkait serangan hama yang sering mengakibatkan gagal panen atau kualitas produksi menurun.  Pada masa tanam tahun sebelumnya, misalnya, hama telah mengurangi hasil panen. Pipilan jagung dalam sehektar hanya mendapatkan separuh.

Baca Juga:  Pelayanan Dinas Capilduk Di Mall Pelayanan Masih Dikeluhkan Masyarakat

Jika tidak diserang hama bisa mencapai 3 ton. Belum lagi ditambah biaya produksi yang sangat tinggi untuk obat membasmi hama, pembelian pupuk, dan tenaga buruh.

“Antara biaya tanam sampai panen, harga jual yang kami terima belum seimbang,” jelasnya.

Untuk itu, dia setuju jika nantinya di Bojonegoro dibangun pabrik, atau industri pengolahan jagung. Itu membantu petani jagung untuk mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan ekonomi.

“Ya setuju sekali, harapannya bisa terwujud,” imbuhnya.

Senada disampaikan Supardi (40) petani asal Desa Cancung, Kecamatan Bubulan. Dia mengaku, panen raya tahun ini harga jagung belum ada kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Justru harganya turun.

Saat ini, harga jagung basah mengalami penurunan dari semula Rp2.500 per kilogram, turun menjadi Rp2.300 per kilogram. Sedangkan untuk jagung kering masih pada harga Rp3.200 per kilogramnya.

“Harga itu menurut kami masih jauh dari harapan, karena biaya produksinya juga mahal,” katanya dikonfirmasi terpisah.

Dia berharap dengan adanya industri atau pabrik pengolahan jagung, nantinya bisa memberdayakan masyarakat setempat. Sehingga, ada perubahan nasib bagi petani jagung terutama di daerah sentra jagung, Kecamatan Bubulan.

“Karena sebenarnya, jika pemerintah turun tangan petani jagung bisa sejahtera. Bisnis jagung itu menjanjikan, hanya saja kami tidak punya daya,” pungkasnya.

Sementara itu, data di Dinas Pertanian Bojonegoro, produksi pangan di Bojonegoro salah satunya jagung setiap tahunnya mengalami kenaikan. Tahun 2013 dari luas panen 33.528 hektar (Ha) menghasilkan produksi 166.518 ton, tahun 2014 luas panen 37.765 Ha menghasilkan 190.611 ton, tahun 2015 luas panen 46.174 Ha menghasilkan 225.553 ton, tahun 2016 dan 2017 luas Panen 48.063 Ha menghasilkan 224.644 ton.

Baca Juga:  Lek Omong

“Kalau jenis jagung yang ditanam masih Hibrida karena itu yang terbaik bagi petani sekarang ini,” kata Sekretaris Dinas Pertanian Bojonegoro, Bambang Sutopo.

Dimintai tanggapannya, Cabup Soehadi Moeljono, mengakui jika pertanian jagung belum tergarap maksimal. Padahal mayoritas pertanian jagung ini berada di kantong kemiskinan di pinggiran hutan yang memanfaatkan lahan perhutani.

Karena itu, lanjut Pak Mul, sapaan akrab Soehadi Moeljono, kedepan pihaknya akan mengembangkan ekonomi kreatif dengan mengolah produksi jagung mulai hulu hingga hilir. Tujuannya agar mengangkat nilai jual jagung, membuka usaha baru, dan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar.

Untuk bisa mengolah produksi pertanian ini, lanjut dia, masyarakat perlu dibekali dengan pelatihan dan pendampingan, akses permodalan hingga pemasarannya.

“Dengan begitu akan menumbuhkan perekonomian masyarakat di kawasan hutan sehingga mereka menjadi mandiri, berdaya dan tangguh,” pungkas mantan Sekda Bojonegoro yang sudah mengabdikan diri selama 32 tahun sebagai PNS ini. (*/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *