SuaraBojonegoro.com (SURABAYA) – Baru-baru ini Committee to Protect Journalists (CPJ), sebuah organisasi nonprofit yang aktif mengkampanyekan kemerdekaan pers di seluruh dunia, merilis data yang menyebutkan bahwa puluhan wartawan tewas di Gaza. Menurut Riesta Ayu O, S.I.Kom., M.I.Kom., pemerhati media dari Stikosa AWS, ini kenyataan buruk yang perlu mendapat perhatian serius.
“Mengutip catatan CPJ, setidaknya 40 jurnalis dan pekerja media tewas sejak perang dimulai pada 7 Oktober lalu,” ungkap Riesta di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS), Senin (13/11/2023).
Uniknya, lanjut dia, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis yang beroperasi di Jalur Gaza.
Dosen Ilmu Komunikasi Peminatan Digital Broadcasting Journalism dan Kordinator Prodi Media Data Science di Stikosa AWS ini kemudian mengatakan, jurnalis di Gaza memang menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka mencoba meliput konflik. Apalagi dikabarkan, serangan darat dan udara Israel di Kota Gaza telah menghancurkan beberapa fasilitas yang mengakibatkan gangguan komunikasi, dan pemadaman listrik yang luas.
Diketahui, hingga Minggu (12/11/2023), CPJ melaporkan 40 jurnalis dan pekerja media tewas, 35 diantaranya adalah warga Palestina, 4 warga Israel, dan 1 warga Lebanon.
“Kami juga membaca laporan bahwa delapan jurnalis dilaporkan terluka, tiga jurnalis dilaporkan hilang, dan 13 jurnalis dilaporkan ditangkap,” terang Riesta.
Selaras dengan pernyataan CPJ, Riesta juga menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil yang melakukan pekerjaan penting selama masa krisis dan seharusnya tidak boleh menjadi sasaran pihak-pihak yang bertikai.
“Para jurnalis membawa misi mulia. Mengabarkan setiap peristiwa pada dunia, menginformasikan apa yang sebenarnya terjadi, apalagi ini berhubungan dengan konflik yang sangat serius, yang berhubungan langsung dengan manusia dan kemanusiaan,” jelasnya.
Harus diakui, lanjut Riesta, aktivitas peliputan di kawasan konflik kerap mengancam keselamatan dan nyawa. Meski dalam beberapa perjanjian internasional, sudah disebutkan hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan tentang perlindungan terhadap wartawan yang bertugas di daerah konflik.
Riesta yang juga tercatat sebagai alumnus Stikosa AWS ini kemudian menyebut beberapa hukum internasional yang mengatur keselamatan wartawan saat melakukan peliputan di daerah konflik.
Seperti Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan perjanjian internasional untuk mengatur perlindungan terhadap korban perang, termasuk jurnalis. Konvensi ini menyatakan bahwa jurnalis yang mengambil bagian dalam konflik bersenjata harus diperlakukan sebagai warga sipil dan dilindungi dari serangan.
“Kemudian Konvensi Perlindungan Jurnalis dalam Konflik Bersenjata, merupakan perjanjian internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2015. Konvensi ini menguatkan perlindungan terhadap jurnalis di daerah konflik, termasuk perlindungan dari serangan, penangkapan, dan intimidasi,” tambahnya.
Lalu Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, pedoman yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1977. Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa semua orang yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata harus dilindungi dari serangan, termasuk jurnalis.
“Harus diakui, penerapan hukum internasional yang mengatur keselamatan wartawan di daerah konflik masih belum optimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan di daerah konflik, seperti serangan, penangkapan, atau intimidasi,” terang Riesta.
Dalam konflik di Gaza, misalnya, setidaknya 40 wartawan tewas. Serangan-serangan tersebut diduga dilakukan oleh tanpa pandang bulu, termasuk terhadap wartawan yang mengenakan atribut jurnalistik.
“Penerapan hukum internasional dan kode etik jurnalistik yang tidak optimal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kesadaran pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak ini kadang menganggap bahwa jurnalis adalah bagian dari kelompok musuh, sehingga dapat menjadi sasaran serangan,” jelas Riesta.
Hal lain yang juga menjadi perhatian Riesta, pelanggaran terhadap hukum internasional dan kode etik jurnalistik seringkali tidak ditindak tegas oleh pihak berwenang. Hal ini membuat para pelaku pelanggaran merasa impunitas, dan tidak ada efek jera yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
“Masyarakat internasional seringkali tidak memberikan tekanan yang cukup kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis. Hal ini membuat para pihak yang bertikai tidak menganggap serius masalah perlindungan terhadap jurnalis,” sesalnya.
Untuk itu ia pun berharap agar pelanggaran terhadap hukum internasional dan kode etik jurnalistik harus ditindak tegas oleh pihak berwenang. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk pengadilan khusus untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan.
“Masyarakat internasional juga harus memberikan tekanan yang cukup kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis. Hal ini dapat dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, sanksi ekonomi, atau tekanan diplomatik,” tegas Riesta.
Dukungan masyarakat internasional, termasuk sikap tegas PBB, sangat penting untuk meningkatkan penerapan hukum internasional dan kode etik jurnalistik yang mengatur keselamatan wartawan di daerah konflik.
PBB memiliki peran penting dalam melindungi keselamatan wartawan di daerah konflik. PBB dapat memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis.
“PBB juga dapat membentuk pengadilan khusus untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan. Pengadilan ini dapat memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pelanggaran, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan,” tambahnya lagi.
Selain PBB, masyarakat internasional juga dapat memberikan dukungan kepada jurnalis yang bekerja di daerah konflik. Dukungan ini dapat berupa bantuan logistik, pelatihan, dan perlindungan.
Dengan dukungan dari masyarakat internasional, diharapkan keselamatan wartawan di daerah konflik dapat ditingkatkan, sehingga jurnalis dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan bebas dari ancaman. (Red/Lis)