Oleh : Laily Agustina Rahmawati, S.Si., M.Sc.
SuaraBojonegoro.com – Selalu ada kabar baik di tengah-tengah kabar buruk!
Ungkapan ini tepat kiranya untuk menggambarkan sisi baik dari efek Pandemi Covid-19 bagi keberlangsungan Lingkungan Hidup di seluruh dunia. Pasalnya, meskipun telah menginfeksi lebih dari 6,29 juta orang dan membunuh lebih dari 388.000 orang di seluruh dunia (WHO,
2020), namun virus ini ternyata juga memiliki kemampuan menyembuhkan, yaitu menyembuhkan kondisi bumi (lingkungan) yang sedang sakit (rusak parah).
Pandemi Covid-19 secara simultan mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan yang telah menjadi budaya yang kita jalani selama bertahun-tahun. Pandemi ini memaksa kita untuk benar-benar bertransformasi ke era Revolusi Industry 4.0 hampir di segala bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, bahkan ke ranah religi. Berbagai trobosan digital muncul untuk kita praktikkan secara khidmat agar kehidupan bisa terus berlangsung, meskipun harus dengan menjaga jarak (social distancing) atau istilah di Indonesia disebut physical distancing dengan meminimalkan kontak.
Peraturan physical distancing selama Pandemi Covid-19 membekukan mobilitas penduduk.
Penetapan lockdown dan pembatasan wilayah yang di Indonesia disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa masyarakat untuk tetap beraktivitas dari rumah, sehingga
membuat sekolah dan kantor ditutup, industri dan pabrik berhenti beroperasi, serta jalanan jalanan yang padat kendaraan menjadi sepi. Kondisi tersebut secara signifikan berpengaruh
terhadap kondisi lingkungan kita saat ini.
Sebagaimana yang dimuat oleh INHABITAT (04/2020), larangan perjalanan bisnis, konferensi,
festival, konser dan acara publik lainnya sangat berimbas pada penerbangan. Di Amerika Serikat penerbangan menyumbang emisi CO2 global sebesar 2,4% pada tahun 2018, pandemi Covid-19 membuat nilai tersebut turun secara signifikan. Sedangkan untuk emisi lalu lintas kendaraan penumpang di Amerika menurun hingga 40%. Di Inggris, kepadatan lalu lintas menurun hingga 73% atau sama dengan kondisi sebelum tahun 1953. Di Cina sebagai sumber karbon terbesar di dunia, emisi turun sekitar 18% antara awal Februari hingga pertengahan Maret, atau berkurang sebesar 250 juta ton. Di Eropa diperkirakan akan mengalami penurunan emisi serupa, sekitar 390 juta ton.
Penelitian Mandal (2020) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Dwarka, India Timur, juga menunjukkan perbaikan kualitas lingkungan akibat kebijakan lockdown selama Pandemi Covid-19 yang ditarapkan Pemerintah India mulai 24 Maret 2020. Beradasarkan hasil
penelitian, menunjukkan bahwa dalam 18 hari lockdown terjadi penurunan konsentrasi debu di udara atau Particulate Matter (PM10) maksimum, yang semula 189-278 μg/m3 menjadi 50- 60 μg/m3.
Perbaikan kualitas lingkungan juga tampak pada suhu permukaan daratan yang menurun 3-5⁰C. Tingkat kebisingan juga menurun, yang awalnya selalu di atas 85 dBA menjadi di bawah 65 dBA. Selain itu, kualitas air sungai pun mengalami perbaikan, terutama terkait jumlah padatan terlarut (Total Dissolve Solid (TDS)) yang menurun hingga 2 kali lipat.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Sejak pemberlakuan Work From Home (WFH) di berbagai instansi dan perusahaan secara nasional, mobilitas di tempat kerja menurun rata-rata 16,5% per hari (BPS, 2020). Penurunan mobilitas penduduk ternyata juga berdampak pada perbaikan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia. Sebagaimana publikasi yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik Tahun 2020 dalam Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19, disebutkan bahwa ada beberapa kota besar di Indonesia yang mengalami penurunan tingkat polutan atau peningkatan kualitas udara, yaitu: Kawasan Bogor, Surabaya, dan Bekasi. Tercatat dalam kurun waktu Januari-April 2020, Kawasan Bogor mengalami peningkatan kualitas udara signifikan hingga 44,9%, sedang Surabaya meningkat 39,2%, dan Bekasi meningkat 13,8%. Untuk wilayah lainnya, ada yang cenderung stagnan dengan peningkatan selalu di bawah 10%, seperti Semarang (6,7%) dan Depok (3,1%). Namun ada pula kawasan yang selama Pandemi Covid-19 justru mengalami penurunan kualitas udara, seperti Bandung (turun 28,5%), Tangerang (turun 13,2%), dan Jakarta (turun 12,7%).
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan konsekuensi yang kontras pada peradaban manusia, dalam artian bahwa di satu sisi telah melakukan penghancuran melalui penyebaran penyakit hampir di seluruh dunia, tetapi di sisi lain memberikan kesembuhan dengan menciptakan perubahan ke arah positif bagi lingkungan global. Pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa betapa besar pengaruh campur tangan manusia dalam perbaikan maupun perusakan lingkungan. Jika seandainya manusia tidak terlalu serakah untuk hanya memenuhi apa yang dia butuhkan (need), bukan apa yang dia inginkan (want) atau bahkan mengikuti
keserakahannya (greed), maka mungkin kerusakan lingkungan tidak akan pernah terjadi di dunia ini.
Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengevaluasi diri kita tentang bagaimana menjalani hidup?
Apakah berdasarkan Need, Want, atau Greed? Semoga perilaku-perilaku positif yang telah kita jalani selama pandemic Covid-19 bisa tetap kita lakukan dengan penuh kekhidmatan
untuk masa depan bumi yang lebih baik.
Selamat Hari Lingkungan Hidup!
*) Penulis Adalah: Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro
*) Referensi:
Agravante Mariecor. 2020. COVID-19 and its effects on the environment. INHABITAT Edisi
April 2020. Sumber: https://inhabitat.com/covid-19-and-its-effects-on-the environmentt/. Diakses pada Tanggal 3 Juni 2020 Pukul: 09.00 WIB.
BPS. 2020. Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Mandal, I., dan Pal, S. 2020. COVID-19 pandemic persuaded lockdown effects on environment
over stone quarrying and crushing area. Science of the Total Environment 732 (2020) 13281