Oleh : Bima Rahmat
Aku tertidur dipangkuan ibuku
Tangannya yang lentik mengusap halus rambutku
Berdongeng menceritakan Bojonegoro dimasa lalu
Dengan berlinang air mata ia mulai bercerita
Konon dahulu Bojonegoro adalah kota yang kaya
Tanahnya tak hanya menghasilkan sumber daya alam yang melimpah
Bahkan air mata warga Bojonegoro menjadi sumber mata air yang menyegarkan
Membasahi tenggorokan mereka yang haus kekuasaan
Tak hanya yang ada di perut bumi
Bahkan isi perut warganya menjadi santapan yang menggiurkan
Tulang belulang warga Bojonegoro menjadi perhiasan bahkan jadi pijakan meraup kekayaan
Jeda sejenak menarik nafas, ibuku melanjutkan ceritanya
Konon di jaman itu mahasiswa entah kemana kehilangan suara atau sibuk menyeruput secangkir kopi dan memuja senja
Atau bahkan mereka sedang sembunyi dibawah meja dengan alibi berdiskusi mengerjakan skripsi
Juga para tokoh agama di waktu itu sibuk mencari muka dihadapan Tuhannya
Petantang petenteng mereka naik mimbar dan berfatwa “taat pada pemimpin cerminan umat beragama”
Tak mau kalah pencari berita ikut ikutan cari muka
Asal menguntungkan segala informasi bisa dikompromikan
Para seniman dan budayawan waktu itu sibuk berdandan
Merapikan pakaian menjilat siapa saja yang menguntungkan
Di jaman itu aparat penegak hukum nampak linglung
Menundukkan kepala bagi siapa saja yang memberikan untung
Terkesima aku mendengar cerita ibuku
Dengan polos aku bertanya “waktu itu Tuhan ada di Bojonegoro nggak Bu”
Bakda subuh, Bojonegoro (21/05/22)