Nyunggi Kitab Suci

Oleh: Joyo Juwoto

Jika kita pernah nyantri, atau setidaknya pernah mengaji di langgar dengan seorang Kiai kampung tentunya kita paham makna dari nyunggi kitab suci.

Istilah nyunggi kitab suci ini saya kutip dari tulisan Cak nun, kalau tidak salah di bukunya yang berjudul “Indonesia bagian terpenting dari desa saya. Bukunya ini hadiah dari seorang mahasiswa LIPIA yang saat itu mengadakan daurah bahasa Arab di pesantren di mana saya belajar.

Saya memang bukan santri tulen yang mondok puluhan tahun di pesantren, yang menghafal ribuan bait alfiah, atau mengaji dan mengkhatamkan ribuan kitab kuning, saya hanyalah seorang santri kalong di sebuah pesantren dan pernah mengaji dan mengkhatamkan kitab-kitab seperti sulam supinah, ta’limul mutaallim, Akhlakul banin, dan tentu tidak ketinggalan kitab turutan yang saya khatamkan di langgar kampung.

Di pesantren maupun di langgar saya diajarkan menghormati kitab suci, sekalipun itu bagian terkecil dari kitab suci yang sobek atau tercecer di lantai atau di tanah, ada nilai penghormatan dan kesakralan yang luar biasa yang di tanamkan oleh Kiai kepada para santrinya.

Baca Juga:  ISOLASI MERDEKA BUKAN TERPENJARA

Jika kita tanpa sengaja menjatuhkan kitab suci, maka kita di suruh nyunggi itu kitab suci, kemudian dengan takdzim kita menciuminya sebanyak tiga kali dengan penuh penghormatan. Kitab suci memang sangatlah kuddus dan sakral.

Bukan hanya itu saja, untuk menghormati kitab suci diantara adabnya adalah jangan sampai posisi kitab suci lebih rendah dari pusar kita, atau meletakkan kitab suci di tempat sembarangan. Seorang santri akan memondong kitabnya di dada, penuh takdzim penuh hormat, begitulah memang adab yang diajarkan kepada kami.

Kitab suci atau bagian dari kitab suci di kalangan santri dihormati sedemikian rupa, tidak hanya penghormatan dari bentuk fisiknya, namun juga benar-benar disucikan ruh dan jiwanya. Oleh karena itu, untuk menjaga kesuciannya, kita tidak boleh sembarangan dalam memberlakukannya. Jika ada yang tercecer harus segera diambil dan diletakkan pada tempat yang semestinya, jika terpaksa harus membakar atau menguburnya harus dengan penuh khidmat. Begitulah akhlak seorang santri.

Jangan memegang kitab suci kalau tidak sedang suci, kalau tidak punya air wudhu, walau kata suci ini maknanya masih debatle. Kitab suci ini benar-benar disucikan, tidak bisa dibuat mainan. Itu yang tertanam dalam kalbu sanubari para santri.

Baca Juga:  Indonesia Ukir Sejarah Dengan Sensus Daring

Hari-hari ini media sosial digaduhkan dengan peristiwa pembakaran kalimat suci yang menjadi bagian dari kitab suci, ada yang mengecam, ada yang mendukung, sehingga dunia maya terpolarisasi menjadi dua kelompok, pro dan kontra. Hampir setiap jeda waktu, beranda Facebook dipenuhi adu kepintaran dan kedigdayaan, adu dalil maupun dalih dari kedua kubu berlangsung seru. Silat lidah menjadi primadona di dunia maya.

Saya hanya diam, menyimak dan membaca. Saya yang merasa tidak memiliki kapasitas keilmuan apapun mencukupkan diri dengan diam saja. Mau membela salah satu kelompok, saya tidak tega dengan kelompok yang satunya lagi. Begitu pula sebaliknya. Saya hanya bisa berdoa semoga kegaduhan dan keriuhan ini segera menemui jalan cahaya, jalan di mana kita semua tunduk dan patuh pada titah-Nya. (*)