Oleh : Ibnu Khakim, M.HI *)
SuaraBojonegoro.com – Entung jati (Hyblaea puera) adalah spesies ngengat yang menyerang tumbuhan jati pada malam hari. Entung jati tersebar di Papua Nugini hingga Afrika Selatan. Di Indonesia, entung jati terdapat pada hutan jati Jawa Timur dan Jawa Tengah saja. Di beberapa bagian daerah di Indonesia, utamanya Jawa dan Madura, ulat entung dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi bahan tumisan, sayur lodeh, sayur asem-asem, balado, rempeyek, keripik, dan rica-rica. Kadar proteinnya cukup tinggi, yaitu 20-30 persen, selain juga mengandung Karbohidrat, Lemak, Vitamin, Mineral.
Enthung merupakan sumber protein hewani yang tinggi dan dapat membantu mengatasi kekurangan protein dalam tubuh. Kandungan proteinnya bahkan bisa setara atau melebihi protein hewani lainnya, seperti ikan, daging, dan telur. Enthung biasanya muncul setahun sekali, beberapa saat setelah musim hujan, sekitar bulan Oktober – Nopember, enthung berwarna cokelat tua sampai kehitaman, dengan panjang sekitar 2 sentimeter.
Di sebagian wilayah Bojonegoro, sejak awal bulan November musim hujan telah tiba. Turunnya hujan ini menjadi berkah bagi warga masyarakat pinggiran hutan jati seperti kecamatan Gondang, Temayang, Sekar, Bubulan, Ngasem, Tambakrejo, Margomulya dan lainnya. Pasalnya, selain petani mulai bercocok tanam, beberapa hari ini warga mulai asyik berburu kepompong atau yang biasa disebut Enthung. Kebiasaan tahunan ini dilakukan mereka setiap musim hujan. Dimana daun jati mulai tumbuh setelah sekian bulan meranggas ketika musim kemarau. Daun jati yang sebelumnya berguguran menjadi tempat favorit enthung.
Islam menghukumi enthung haram
Enthung atau bisa di istilahkan dengan Kepompong dalam istilah Arab dikenal dengan nama Asari’. Hewan ini tergolong sebagai hewan kecil yang melata di bumi atau biasa disebut dengan hasyarat. Para ulama mengategorikan segala jenis hasyarat sebagai hewan yang haram untuk dikonsumsi sebab dianggap sebagai hewan yang menjijikkan (mustakhbats) menurut cara pandang orang Arab, termasuk kepompong ini. Status kepompong yang haram untuk dikonsumsi secara tegas dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra: “Al-Asari’(kepompong) merupakan nama bagi jenis ulat merah yang berada di tumbuh-tumbuhan yang berubah bentuk (bermetamorfosis) menjadi kupu-kupu. Sebagian kaum berpandangan bahwa al-asari’ merupakan ulat yang yang berkepala merah dan bertubuh putih ketika berada di pasir, hewan ini mirip dengan jari-jari wanita. Haram mengonsumsi hewan ini karena termasuk golongan hewan hasyarat” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz I, hal. 42)
Berdasarkan referensi tersebut maka dapat dipahami bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat berupa memanfaatkan kepompong sebagai salah satu jenis makanan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan secara syara’. Sedangkan memperjual-belikan makanan kepompong ini juga merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syara’ sebab termasuk i’anah alal maksiyat yang berarti ikut andil dalam perbuatan maksiat (dalam hal ini adalah mengonsumsi kepompong). Sebab dengan adanya penjualan kepompong maka akan menyebabkan orang lain ikut mengonsumsi kepompong, dan hal tersebut jelas tidak diperbolehkan.
Berbeda halnya ketika penjualan kepompong bukan untuk dikonsumsi orang, tapi dalam bentuk lain yang diperbolehkan oleh syara’, misalnya menjual kepompong sebagai pakan burung. Penjualan kepompong dengan tujuan tersebut dapat dibenarkan. Dalam disiplin fiqih, penjualan kepompong dalam contoh yang diperbolehkan tersebut bukan tergolong akad bai’ (jual-beli) tapi tergolong sebagai bentuk naqlul yad (perpindahan kepemilikan), sebab kepompong secara fiqih tidak layak untuk dijadikan sebagai komoditas jual beli (mal) tapi dikategorikan sebagai ikhtishas (kepemilikan) karena kepompong termasuk bagian dari hasyarat.
Bahaya mengkonsumsi perkara haram
Tidak ada yang sia-sia dalam perkara yang telah ditetapkan Allah. Termasuk dalam larangan mengonsumsi makanan yang tak halal. Tidak halal di sini, baik dalam pengertian haram maupun syubhat. Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Rasulullah Saw telah mengemukakan alasannya, sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari makanan yang tak halal. Pertama, energi tubuh yang lahir dari makanan haram cenderung untuk dipakai maksiat. Sahabat Sahl radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2, hal. 91). Rasulullah menyatakan, “Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula” (HR al-Bukhari dan Muslim). Secara tidak langsung, hadits ini mengatakan, “Tidaklah yang buruk itu mendatangkan sesuatu kecuali yang buruk.” Lebih berat lagi, makanan tidak halal itu menjadi darah daging keturunan kita atau diberikan kepada keturunan kita, maka kemungkinan keturunan kita menjadi keturunan saleh menjadi kecil.
Kedua, terhalangnya doa. Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat Sa‘d ra : “ Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari” (Sulaiman ibn Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausath, jilid 6, hal. 310).
Ketiga, sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh al-Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘, sebagaimana yang populer dalam sebuah syairnya: ” Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘ Beliau menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat Dan beliau berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya Sedangkan cahaya Allah tak diberikan kepada ahli maksiat Walau as-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa makan makanan tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn Khalifah, Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002, Jilid 1, hal. 18).
Keempat, ancaman keras di akhirat. Bentuk ancamannya apalagi jika bukan siksa api neraka. Ancaman ini jelas disampaikan dalam Al-Quran dan hadits. Di antaranya ancaman api nereka bagi orang yang makan harta anak yatim dan harta riba. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS al-Nisa’ [4]: 10). Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya,” (QS Al-Baqarah [2]: 275). Ancaman siksa neraka yang bersifat umum akibat makanan tak halal juga disampaikan Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam: “Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya,” (HR Al-Thabrani).
Semoga Alloh Swt menuntun kita untuk mampu membedakan perkara yang halal dan haram yang berada disekitar kita dan mampu menggunakan semua ciptaan_Nya sesuai kehendak Sang Pencipta dengan cara terus belajar dan bertanya tentang Islam kepada ahlinya, yakni para Kyai dan Ulama. (**)
*) Penulis _Ibnu Khakim, MHI, _Intelektual Muda dan Instruktur NU, Dosen dan Pengasuh Pesantren Salafiyah Raudlatul Muslimin yang berdomisili di Desa Sumberarum Kecamatan Ngraho Kabupaten Bojonegoro.