HET MinyaKita Naik, MinyaKita Milik Kita?

Oleh : Italismaya, S.Pd

SuaraBojonegoro.com – Rupanya berita kenaikan harga minyak rakyat yang sudah mulai terdengar sejak akhir 2023 benar terjadi. Sebagaimana pernah diwartakan oleh CNN Indonesia pada 12 Desember 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan harga MinyaKita akan naik ke Rp 15.000 per liter setelah Pemilu 2024. Dan benar adanya minyak goreng rakyat MinyaKita saat ini naik dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700.

Tentu banyak yang menanyakan kenapa harga minyak rakyat dinaikkan. Pasalnya negara kita adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar didunia. Dan termasuk eksportir minyak mentah ke beberapa negara.

Pasti banyak juga yang akan mengeluhkan kenaikan harga MinyaKita khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mulai dari ibu rumah tangga, pedagang dan pelaku UMKM. Bagi konsumen rumah tangga pengeluaran mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari tentu akan bertambah. Dan kondisi ini makin menyulitkan mengingat masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Bagi pedagang dan pelaku UMKM mereka bisa kehilangan konsumen dan pendapatan menurun akibat makin tingginya modal dagang dan biaya produksi. Bagi konsumen mungkin lebih memilih menahan diri untuk mengeluarkan uang meskipun hanya sebatas membeli makanan ringan.

Belum lagi masalah kelangkaan yang kerap menyertai. Ketika harga di naikkan, tiba-tiba stok barang hilang dipasaran. Sengaja di sembunyikan atau ada oknum yang mencoba mencari keuntungan. Alih-alih bisa didapatkan, masyarakat terpaksa membeli minyak curah dengan mutu rendah atau terpaksa membeli minyak komersil dengan harga yang mahal.

Keadaan ini tentu perlu mendapat evaluasi. Mengapa harga minyak tidak bersahabat dengan rakyat. MinyaKita tak lagi milik kita?

Asal Mula MinyaKita

Program MinyaKita dibuat untuk menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi dan langka pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022. Pada Oktober 2021, minyak goreng mengalami lonjakan harga yang tidak wajar. Awalnya, HET satu liter minyak goreng adalah Rp11.000, lalu mengalami kenaikan hingga Rp20.000 per liter. Operasi pasar besar-besaran belum cukup mengatasi tingginya harga minyak. Sudahlah mahal, sulit pula untuk didapatkan. Kala itu, minyak goreng menjadi barang langka yang keberadaannya diperebutkan, bahkan harus dengan antrian yang sangat panjang.

Baca Juga:  Ketika AI dan Coding Jadi Mapel Pilihan di SD-SMP: Apa Jadinya

Tingginya harga minyak goreng saat itu dipengaruhi oleh tingginya harga CPO atau minyak mentah yang melonjak. Faktor inilah yang ditengarai membuat produsen sawit lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Pada April 2022, Presiden menetapkan kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Berkat kebijakan tersebut, minyak goreng kembali beredar di pasar.

Pada Juli 2022, pemerintah melalui Kemendag meluncurkan minyak goreng rakyat merek MinyaKita dengan HET Rp14.000 per liter. Kini, setelah dua tahun MinyaKita membersamai kita, Mendag kembali menetapkan kebijakan kenaikan HET minyak goreng yang membuat semua orang bingung, heran, dan bertanya-tanya. Alasannya bukan lagi karena harga CPO tinggi lalu ramai-ramai diekspor ke luar negeri, tetapi karena biaya produksi dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Imbas Kapitalisme

Kenaikan harga minyak goreng di negeri penghasil sawit terbesar adalah ironi. Pasalnya, Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit dan pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia.

Dengan potensi yang dimiliki seharusnya produksi minyak goreng di dalam negeri jumlahnya berlimpah. Dengan kualitas yang bagus dan dengan harga yang murah dan ramah dengan kantong rakyat kecil.

Menurut hemat kami penyebab sengkarut berbagai urusan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat adalah karena negeri ini telah mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Dalam masalah kebijakan pangan termasuk di dalamnya adalah minyak goreng, negara lebih cenderung menyerahkan kepada persaingan pasar. Lebih banyak menyerahkan pengurusanya baik dalam masalah produksi ataupun distribusi kepada pihak korporasi atau perusahaan besar. Sementara negara hanya sebagai pengawas dan penjamin agar iklim bisnis berjalan secara kondusif. Pihak swasta dengan orientasi bisnis lebih mendominasi. Sebagian besar lahan kelapa sawit telah dikuasai swasta. Bertebaran perusahaan minyak goreng dengan berbagai merek yang menguasai rantai produksi dan distribusi. Sehingga negara sangat bergantung dengan pihak swasta dalam pemenuhan minyak goreng dalam negeri. Pihak swasta dengan mudah menyetir harga pasar demi mendapat keuntungan.

Baca Juga:  Peran Pancasila dalam Pengembangan IPTEK

Keberadaan petani rakyat, perusahaan kecil dan produksi berskala rumahan cenderung kalah dengan perusahaan besar. Mereka hanya remahan yang kalah saing dengan pemodal besar. Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah karena lelah dan kalah.

Belum lagi adanya mafia-mafia pangan yang memanfaatkan posisi dan kondisi demi keuntungan pribadi. Penimbunan, permainan harga sampai dengan kecurangan kerap menjadi bumbu yang menyertai. Harga pangan kian hari kian tak menentu. Yup kita cari solusi.

Alternatif Solusi

Tentu harus ada perbaikan disetiap lini. Peran negara harus dikembalikan sebagai pelayan rakyat. Sebagaimana Islam telah mengajarkan. Rasulullah Saw. bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Hubungan antara negara dan rakyat bukanlah hubungan bisnis atau keuntungan. Pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi tugas negara dengan mekanisme yang sahih. Tidak menyerahkan atau bergantung kepada pihak swasta.

Beberapa langkah yang bisa diambil adalah menjaga pasokan produksi minyak dalam negeri dengan memberi support kepada para petani sawit. Menghidupkan iklim pertanian sawit berbasis rakyat. Memudahkan mereka mendapatkan lahan, sarana prasarana pertanian, mendapatkan pendampingan dan bantuan modal. Lahan sawit tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang, pemodal besar. Sehingga akan mudah menciptakan pasar yang sehat dan kestabilan harga.

Mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan semua penyebab distorsi pasar. Negara dapat menunjuk polisi pasar (qodhi hisbah) untuk mengawai jalannya perekonomian dan menindak tegas pelaku kecurangan baik yang dilakukan oleh perusahaan atau pedagang nakal. Tidak membiarkan perusahaan menguasai atau memonopoli rantai produksi dan distribusi minyak untuk meraup keuntungan.

Memilih sistem ekonomi Islam bisa menjadi solusi dalam pengelolaan produksi pangan. Menjadikan bahan pangan termasuk minyak goreng mudah diperoleh rakyat dengan harga yang murah. Rakyat akan semakin sejahtera. (**)