Hentikan Fanatisme dan Permusuhan Antar Suporter

Oleh: Said Edy Wibowo *)

SuaraBojonegoro.com – Tragedi Kanjuruhan telah memperlihatkan betapa antusias dan fanatiknya para penggemar sepak bola di Indonesia. Fanatisme suporter, termasuk Aremania, sebutan pendukung Arema FC yang telah mendarah daging, mestinya sudah dipahami seluruh pemangku kepentingan di industri sepak bola.

Mereka rela bertindak melebihi batas ketika pertandingan tidak berjalan sesuai dengan ekspektasinya.
Kerusuhan, perkerlahian antarsuporter sebenarnya sudah tidak asing bagi dunia sepak bola Tanah Air. Namun, sayangnya, masih terus berulang dan terus menelan korban.

Misalnya, rivalitas antara Aremania dan Bonek Mania, pendukung Persebaya, yang tidak pernah mereda dalam tiga dekade terakhir. Begitu pun dengan para pendukung Persib Bandung dan Persija Jakarta yang fanatik terhadap klub mereka masing-masing sehingga menimbulkan permusuhan hingga kini.

Akibat fanatisme berlebihan tersebut, mereka seakan tidak melihat rambu-rambu sportivitas sebagai batas yang nyata yang seharusnya dipegang teguh. Atmosfer rivalitas lebih dominan sehingga membuat banyak suporter klub-klub di Indonesia kerap gelap mata.

Level fanatisme suporter sepak bola Indonesia yang begitu besar tentunya telah disadari oleh banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sepak bola tanah air, termasuk pihak penyelenggara dan pihak keamanan untuk mengantisipasinya jika muncul potensi kerusuhan, sekecil apa pun itu.

Baca Juga:  Momen Kebangkitan Nasional Sesungguhnya bagi Dunia Pendidikan

Antisipasi yang tidak maksimal itulah akhirnya menyebabkan 437 suporter menjadi korban seusai pertandingan antara Arema FC lawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Dengan jumlah korban meninggal mencapai 131 orang menurut data Kementerian Kesehatan.

Untuk itulah, saatnya seluruh pihak mengevaluasi diri. Membebankan tanggung jawab Tragedi Kanjuruhan hanya kepada suporter karena sikap fanatik mereka jelas tidak akan menghasilkan rekomendasi perbaikan yang menyeluruh.

Manajemen klub sepak bola, pengelola liga seperti PT Liga Indonesia Baru dan regulator yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), serta pihak keamanan justru yang paling utama untuk berbenah. Bahkan para pengelola inilah yang punya tanggung jawab paling besar memastikan jalannya setiap pertandingan di sepanjang kompetisi berlangsung lancar, tanpa insiden apa pun. Karena merekalah yang hidup dari sepak bola, sedangkan suporter justru yang menghidupkan sepak bola.

Baca Juga:  KURIKULUM MERDEKA MAMPU MENDORONG MOTIVASI DAN KREATIFITAS SISWA DI ERA DIGITAL

Namun, fanatisme buta suporter hingga berujung tindakan anarkistis tentu harus juga dikikis habis. Para pendukung mesti menyadari bahwa dalam olahraga, termasuk sepak bola, menang dan kalah merupakan hal biasa. Tidak perlu merusak ketika tim pujaannya kalah.

Sikap sportivitas inilah yang terus-menerus ditanamkan ke dalam diri para pendukung, tentunya dengan keterlibatan pihak klub. Klub dan suporter merupakan satu-kesatuan. Tanpa pendukung, kesebelasan sepak bola tidak bisa hidup.

Harapan kedepan, jangan sampai lagi suporter dan klub berjalan sendiri-sendiri. Klub tidak mampu melakukan kontrol terhadap perilaku negatif suporternya, sementara suporter tidak mampu melakukan kontrol terhadap pengelolaan klub.

Dalam sebuah kesebelasan sepak bola, pemain akan silih berganti, begitu pun dengan pemilik dan investor akan datang dan pergi, hanya suporter yang akan abadi. Menjadi keniscayaan agar fanatisme suporter ini menghidupkan, bukan fanatisme yang mencelakakan.

*) Penulis adalah Pengawas Madrasah Aliyah Kementerian Agama Bojonegoro