Belajar Dari Kasus Nissa Sabyan: Pelanggaran Norma Sosial Akan Melahirkan Sanksi Sosial

Oleh: Yoga Irama

SuaraBojonegoro.com – “Kok bisa-bisanya ya dia seperti itu, saya ga habis pikir dengan alur pikirannya Nissa dan Ayus Sabyan itu”, kata teman saya sembari keheranan.

Mendengar kalimat demi kalimat bernada jengkel yang terus dikeluarkan oleh teman saya itu, saya hanya bisa diam dan cukup menjadi pendengar setia saja, tanpa berselera membalas dengan satu buah kata pun.

Sebetulnya untuk kasus Nissa Sabyan saya punya pandangan tersendiri terkait itu.

Yang mana pandangan saya ini tidak selaras dengan bacotannya para netizen budiman yang sering salah mengetik “amin” kepada setiap postingan yang berbau Bahasa Arab. Tidak pula selaras dengan komentar emak-emak yang suka nyinyir dan ngegibahin tetangganya sendiri saat sore hari di depan teras rumahnya.

Terlepas dari pembelaan diri yang dilakukan Ayus, di mana ia mengaku khilaf seperti yang terdapat pada video klarifikasinya yang sudah beredar di media sosial. Saya tidak akan masuk pada wilayah itu. Untuk masalah khilaf dan tidak khilaf biarlah hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu.

Yang lebih penting dan menarik untuk dibahas adalah respon dari masyarakat terkait adanya kasus tersebut. Jamak diketahui cercaan dan cemoohan dari para netizen di seluruh penjuru Indonesia tak hentinya terus dilayangkan kepada kedua sosok artis personil grub musik Sabyan Gambus tersebut.

Menurut saya, fenomena itu lumrah-lumrah saja. Apalagi mengingat tindakan yang sudah dilakukan oleh keduanya sampai membuat istri sah dari Ayus sampai melayangkan gugatan cerainya ke Peradilan Agama, dengan maksud mengakhiri mahligai rumah tangga yang sudah dibangun lama dan dikaruniai dua orang putera.

Di sinilah letak penyebab utama kenapa netizen mengecam habis-habisan perbuatan si Nissa dan Ayus. Menurut pandangan netizen, keduanya telah melakukan tindakan perselingkuhan sehingga berbuntut pada perceraian.

Baca Juga:  Hilangnya Nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sedangkan kalau dicermati lebih lanjut, dalam tradisi masyarakat Indonesia bahkan mungkin dunia, tindakan perselingkuhan adalah salah satu tindakan yang melanggar norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat. Akibat dari pelanggaran itu wajar kemudian masyarakat memberikan sanksi sosial berupa kecaman, cemoohan bahkan lebih jauh bisa berupa kekerasan dalam bentuk verbal ataupun non-verbal.

Sanksi yang dimaksud bukan berdasarkan legal thinking (pemikiran hukum) yang bermakna sanksi pidana, sanksi perdata atau sanksi administratif. Tapi sanksi yang dimaksud lebih berdasar pada scientific thinking (pemikiran ilmiah).

Secara sosiologi yang dimaksud dengan sanksi adalah sebuah bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh kelompok masyarakat kepada warga masyarakat yang dianggap telah melakukan tindakan menyimpang dan melanggar norma-norma sosial yang hidup di tengah masyarakat.

Adanya sanksi sosial bukan serta merta karena adanya rasa sakit hati dari masyarakat dan menginginkan pembalasan terhadap pelaku pelanggar norma sosial. Lebih dari itu, sanksi sosial adalah cara masyarakat agar bisa melakukan pengendalian sosial terhadap kehidupan.

Maksudnya, dengan adanya sanksi sosial masyarakat jadi bisa membentuk kehidupan menjadi tertata rapi dengan keteraturan yang berlandaskan pada norma dan nilai-nilai yang berlaku. Sehingga kehidupan yang damai dan tenang pun bisa tercipta. Minimal dengan adanya sanksi sosial si pelaku akan merasa jera dengan tindakan melanggarnya. Dan, kemungkinan besar masyarakat lain juga akan berfikir dua kali untuk meniru tindakan pelanggaran yang sudah dilakukan itu.

Perlu dicermati, sanksi berbeda halnya dengan diskriminasi. Agar pembaca tidak gagal paham dengan apa yang ingin saya sampaikan, maka saya akan memberikan definisi singkat atas keduanya.

Merujuk pada buku Kamus Sosiologi karya Agung Tri Hryanto dan Eko Sujatmiko, diskriminasi adalah sikap membedakan secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan tertentu. Sedangkan sanksi seperti yang sudah saya paparkan panjang lebar di atas, adalah sikap penghukuman atas sebuah pelanggaran. Jadi sudah sangat jelas bahwa sanksi pada hakikatnya adalah konsekuensi dari pelanggaran norma yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Singkatnya, kalau tidak mau terkena sanksi ya jangan melanggar.

Baca Juga:  Anak Muda Adalah Kunci

Dasar legalitas menerapkan sanksi sosial ini turut saya kutip dari salah satu ceramah Gus Baha di Youtube, Gus Baha menuturkan bahwa, jika perbuatan tercela tak lagi dianggap tabu, maka masyarakat akan acuh. Hal ini bisa berbahaya karena perbuatan asusila akan diabaikan dan dibiarkan tumbuh subur.

Nasehat tersebut masuk akal. Karena apabila masyarakat senantiasa bersifat permisif tanpa ada sebuah konsekuensi hukuman yang diberikan, tentu tindakan pelanggaran dan amoral akan terus terjadi nantinya. Maka saya kira tidak berlebihan jika rakyat Indonesia masih tetap menerapkan tradisi sanksi sosial sampai hari ini. Mengingat Negara Indonesia adalah negara yang terkenal di penjuru dunia dengan jati diri bangsanya yang sopan serta santun.

Sah-sah saja melakukan sanksi sosial. Namun dengan catatan, sanksi sosial yang dilakukan tidak bermuara pada tindakan kriminal.

Akhir kata, adanya sanksi sosial jangan kemudian disalah artikan sebagai sesuatu yang negatif. Tindakan pelanggaran sudah sepatutnya mendapatkan balasan demi terbentuk keteraturan sosial. Apabila kehidupan kita baik-baik saja dan selaras dengan rambu-rambu norma sosial dan agama, tentu bisa dipastikan kita tidak akan merasa khawatir akan terkena sanksi sosial nantinya. (*)

*)Penulis adalah seorang mahasiswa Pascasarjana Prodi Akidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya