Oleh: Aning Wulandari
SuaraBojonegoro.com – Serangan virus corona atau Covid-19 telah menjadi pandemic karena menyerang di seluruh dunia (termasuk Indonesia). Wabah Covid-19 ini mengharuskan semua masyarakat untuk mengubah pola hidup keseharian demi mencegah penyebaran penularan virus yang telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia. Semua masyarakat dihimbau untuk menjaga jarak interaksi dengan orang lain (physical distancing), menjaga kebersihan, menerapkan pola hidup sehat, menggunakan masker wajah saat keluar rumah, dan tinggal di rumah saja (stay at home). Terlepas masyarakat patuh atau tidak terhadap himbauan pemerintah, kita tidak akan membahas hal tersebut. Pembahasan kali ini lebih kepada bagaimana kebijakan stay at home terhadap keluarga.
Himbauan untuk stay at home dan mengurangi kegiatan yang melibatkan berkumpulnya orang banyak, diperuntukkan bagi semua masyarakat, baik masyarakat umum, ASN, TNI maupun Polri. Himbauan tersebut juga berdampak pada bidang Pendidikan, yaitu kebijakan untuk menghentikan semua proses pembelajaran secara langsung (tatap muka) dan diganti dengan pembelajaran secara online (daring) dari rumah. Peserta didik melaksanakan pembelajaran dari rumah atau biasa disebut learn from home (LFH), sedangkan guru, kepala sekolah/madrasah dan pengawas sekolah/madrasah melaksanakan tugas dari rumah atau biasa disebut work from home (WFH).
Awal diberlakukannya kebijakan LFH dan WFH pada pertengahan Maret 2020, banyak pihak yang menerima dengan sukacita, karena banyak yang memaknai LFH dan WFH sebagai libur Panjang. Banyak pihak yang memaknai LFH dan WFH sebagai hal yang positif karena dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas berkumpulnya seluruh anggota keluarga, dan ibu-ibu yang biasanya bekerja (berangkat pagi pulang sore) menjadi senang karena bisa melaksanakan rutinitas dengan lebih santai.
Namun seiring berjalannya waktu, dengan perpanjangan masa LFH dan WFH hingga 21 April, memunculkan berbagai dampak di keluarga. Pertama: anak mulai bosan, jenuh, bahkan stress karena setiap hari hanya di rumah saja dan harus mengerjakan tugas dari guru atau dosen. Dari pagi hingga sore, anak-anak harus di depan laptop atau handphone untuk berinteraksi ataupun mengerjakan tugas-tugas dari guru. Bahkan ada mahasiswa yang harus di depan laptop sampai malam karena ada materi atau tugas tambahan. Para guru dan dosen harus menyikapi ini secara bijak, agar kegiatan pembelajaran daring tidak menimbulkan masalah baru yang dapat berpengaruh secara psikologis terhadap anak.
Dampak yang kedua adalah semakin membengkaknya anggaran dana untuk memenuhi kebutuhan selama LFH/WFH. Bagi keluarga yang tidak memiliki wi-fi di rumah, harus menambah anggaran untuk membeli kuota internet. Semakin banyak anak, tentu saja akan semakin besar anggarannya. Bagi keluarga yang sudah memiliki wi-fi, banyak yang harus meng-upgrade kuota dan kecepatannya agar dapat diakses oleh semua anggota keluarga dengan lancar. Belum lagi anggaran belanja untuk makan dan aneka jajan untuk anak-anak di rumah. Banyak ibu yang berkomentar, “masa karantina semakin boros karena anak-anak selalu minta ada stok jajan di rumah”. Ada juga ibu-ibu yang mulai berkomentar, selama LFH/WFH, sehari bisa masak 2-3 kali.
Dampak yang ketiga adalah banyak orang tua, terutama ibu yang stress karena harus mendampingi anak-anak belajar setiap hari di rumah. Bagi yang anaknya sudah di jenjang Pendidikan menengah atau perguruan tinggi, mungkin hanya beberapa orang tua saja yang masih mendampingi. Namun bagi orang tua yang anaknya masih di jenjang Pendidikan dasar, banyak dari mereka yang merasa stress karena setiap hari harus mendampingi anak-anak belajar, bahkan membantu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Bagi orang tua dengan latar belakang Pendidikan maupun pekerjaan guru, tentu tidak menjadi masalah mendampingi anak-anak belajar di rumah. Namun bagi ibu rumah tangga yang bukan guru, mereka stress manakala harus membantu mengerjakan tugas anaknya yang dirasa sulit. Saking stresnya mendampingi anaknya belajar, bahkan ada ibu yang mengeluh sambil berseloroh begini, “lha gurunya saja hanya menguasai satu mata pelajaran, kok kita orang tua disuruh menguasai semua mata pelajaran”. Selain itu, bagi orang tua yang mempunyai anak di kelas akhir (kelas 6, 9 dan 12), kebijakan dihapuskannya Ujian Nasional tahun ini memunculkan rasa cemas akan nasib kelanjutan Pendidikan anaknya ke depan seperti apa. Hal ini dapat dimaklumi karena hingga saat ini pemerintah masih konsen menangani pandemic korona dan belum mengeluarkan kebijakan terkait penerimaan peserta didik baru.
Ketiga dampak tersebut di atas mungkin tidak akan terlalu dirasakan bagi orang tua yang anak-anaknya sudah bekerja. Apapun dampak dari kebijakan LFH/WFH ini, kita semua harus patuh dan bersabar menjalaninya demi kebaikan bersama dalam rangka mencegah penyebaran virus corona di Indonesia. Pemerintah akan berhasil menangani wabah serangan virus corona ini jika seluruh masyarakat berpartisipasi mendukung program physical distancing dan stay at home melalui kegiatan LFH/WFH ini. Bagi para orang tua dan Pendidik, diharapkan dapat berkomunikasi dan bersinergi dengan baik agar pembelajaran dari rumah dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Sekali lagi, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mendukung program pemerintah agar dapat segera menghentikan penyebaran virus corona dan pembelajaran kembali dilaksanakan secara normal. Teriring doa untuk bangsa dan negara ini semoga badai segera berlalu.
*) Penulis adalah Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kab. Bojonegoro