Antara Hoax di Pemilu 2019 dan Demokrasi Pancasila

Oleh: Sri Kartika

SuaraBojonegoro.com – Pemilihan umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama. Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

Pentingnya Pemilu

Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret keikutsertaan (partisipasi) rakyat dalam penyelenggraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hamper selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, system & kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat bener-bener mewujudkan pemerintahan demokrasi. Secara etimologi demokrasi adalah gabungan dua kata yaitu Demos (Masyarakat) dan Kratos (Memerintah. Secara terminology Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada ditangan rakyat. Menurut Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu dilaksankan secara langsung, umum, bebas, rahasia, (luber) jujur, adil (jurdil).

Asas-asas Pemilu yaitu:
1. Langsung
Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.

2. Umum
Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan,  kedaerahan, dan status sosial yang lain.

3. Bebas
Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.

4. Rahasia
Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

5. Jujur
Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Adil
Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Baca Juga:  Di Pilkada 2024 Mendatang Partai Golkar Akan Calonkan Kader Sendiri

Selain UUD 1945, Pemilihan Umum juga terdapat pada Pancasila terutama dalam sila keempat yang berbunyi ” Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Pada awalnya, musyawarah memiliki arti pembahasan bersama oleh semua pihak dan forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. Namun, karena komposisi dan sifat kerjanya, DPR sulit mencapai “hikmat kebijaksanaan”.
Mari kita periksa sila ke-4. Meski pemeriksaan ini singkat, tetapi Anda bisa menentukan kebenaran atau keakuratan argumentasi tersebut.

Sila ke 4
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mencoba memenuhi permintaan Ketua BPUPKI dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat tentang philosofische grondslag Indonesia Merdeka. Untuk dasar ketiga, Sang Proklamator tersebut menguraikan tentang “dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan”. Sang Orator haqqul yakin bahwa “syarat multak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”. Indonesia adalah negara“’semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu”.

Lalu, bagaimana potret demokrasi setelah melihat proses pemilu 2019. Apakah sudah mencerminkan demokrasi yang demokratis dan bermartabat? Sebagaimana cita-cita bangsa ini.
Dari kaca mata pakar hukum Pery Rehendra Sucipta, pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai refleksi kedaulatan rakyat masih sangat memprihatinkan dan terus bergerak mundur. Lantas apa indikatornya?
Keprihatinan Pery bukan tanpa sebab. Ia melihat perjalanan demokrasi di Indonesia kian memburuk dan lebih mirisnya justru menonjolkan perilaku dan cara-cara berdemokrasi yang tidak bermartabat.

“Karena faktanya, yang kita nikmati dan kita saksikan hari ini di Pemilu 2019, maraknya hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian) yang bertebaran di media sosial yang setiap saat dikonsumsi warga negara melalui teknologi canggih, ponsel pintar digenggamannya,” kata Pery menjawab suluhkepri.com, pada Senin (8/4/2019) menjelang tengah malam, dalam perbincangan terkait proses Pemilu 2019, lewat saluran WA.
Ini artinya, jelas Pery,” politik kita hanya berkembang secara teknik seiring kemajuan teknologi, akan tetapi mundur secara etik”. Sebab kemajuan teknologi yang semakin canggih justru dimanfaatkan untuk saling menyerang, mencaci maki dan memfitnah satu sama lainnya.

Dosen Prodi Ilmu Hukum di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang itu, menegaskan Pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi (demokrasi prosedural). Makanya menjadi kewajiban bersama untuk mengawalnya dalam mewujudkan pemilu Luber dan Jurdil.

Menurut Peneliti Laboratorium Hukum FISIP UMRAH itu, demokrasi bukan hanya cara maupun alat ataupun proses yang dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Akan tetapi, demokrasi adalah nilai-nilai yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Baca Juga:  Bentuk Satgas Pemilu Untuk Netralitas ASN di Bojonegoro

Maka, kata Pery, demokrasi di Indonesia yang menganut sisitim Demokrasi Pancasila harus menjiwai nilai-nilai dari kelima sila dalam Pancasila. Yaitu, sebut Pery, demokrasi yang mencerminkan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan sosial.

“Lalu pertanyaan yang bisa kita ajukan, apakah cara kita berdemokrasi hari ini sudah merupakan wujud Demokrasi Pancasila yang sebenarnya,” tanya Pery.
Ia mengatakan perbedaan pendapat maupun pilihan di Pemilu 2019, dalam memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD dan DPRD, menjadi pemicu penyebaran hoax dan hate speech.

Ia berpendapat beda pilihan adalah sebuah konsekuensi dalam berdemokrasi sebagai hak azasi manusia yang dijamin konstitusi. Karena setiap orang punya cara pandang dan penilaian tersendiri yang berbeda dengan orang lain.

“Karena pada prinsipnya pelaksanaan demokrasi yang semakin demokratis di sebuah negara, maka akan semakin kokoh pula penghormatan kepada kemanusiaan, keberagaman, perbedaan pendapat, bahkan lawan politik,” ucapnya.

Saat ini yang terjadi dalam proses Pemilu 2019, adalah dimana perbedaan pendapat dan pilihan menjadi ruang konflik untuk saling memfitnah dan mengadu domba sesama warga negara.
Selain itu, perilaku politisi di negeri ini juga belum memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Karena tujuan berpolitik hanya untuk mengejar kekuasaan tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap pembangunan demokrasi di masa depan.
Misalnya dengan melalukan upaya-upaya politik uang (money politic) serta upaya-upaya untuk mendeligitimasi penyelenggara pemilu yang tidak mencerminkan demokrasi yang bermartabat. Yaitu Demokrasi Pancasila yang sejak dulu dicita-citakan bangsa ini.
“Perilaku dan cara berdemokrasi seperti itu hanya mencoreng arang hitam di wajah demokrasi kita, demokrasi Pancasila. Tentu sangat dikhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena berpotensi menimbulkan pergesekan, kegaduhan bahkan perpecahan ditengah masyarakat,” ucap pria bergelar master hukum itu.

Seharusnya, kata Pery, hal-hal negatif seperi hoax dan hate speech tidak perlu muncul jika semua pihak bisa menerima dan menghargai perbedaan pendapat maupun pilihan dalam alam demokrasi.
Sebagai cermin berdemokrasi, ia pun berpesan dengan mengutip ucapan Voltaire,” saya berlawanan pendapat dengan anda, tetapi saya akan lindungi hak anda untuk hidup dan berbeda pendapat”. (tr)

*) Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas   Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang.