Mengkritisi Satu Tahun Kepemimpinan Bu Anna dan Mas Wawan

Oleh : Ahmad Supriyanto (Mas Pri)*

Profesionalitas Aparatur Penyelenggara Pemerintah dan Politik Kebersamaan

Anna Mu’awanah dan Budi Irawanto resmi dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro pada 24 September 2018 di Gedung Grahadi Surabaya. Pasangan yang mempopulerkan diri dengan nama Bu Anna-Mas Wawan ini digadang-gadang sebagai pasangan serasi, yakni dari PKB dan PDIP.
Perpaduan religious-nasionalis.
Tak terasa, hampir satu tahun Bu Anna dan Mas Wawan menahkodai Kabupaten Bojonegoro untuk membawa daerah ini menjadi daerah yang produktif dan energik dengan cara ngayomi dan ngopeni, sebagaimana yang dijanjikan. Berbagai kebijakan telah dilakukan mereka untuk mewujudkan janji-janji masa kampanye dulu di tahun pertama memimpin. Kabupaten Bojonegoro, sebagai daerah yang pernah menjadi daerah miskin (10 besar) di wilayah Provinsi Jawa Timur, sebenarnya mempunyai potensi sumber daya yang cukup besar. Alam maupun manusia. Jumlah Dana Bagi Hasil (DBH) migas, membawa APBD Bojonegoro melesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, APBD Bojonegoro mencapai Rp 4,6 triliun. Angka ini naik dibanding tahun 2018 yang mencapai Rp 3,35 triliun.
Anggaran besar mempunyai dua tantangan besar. Anggaran besar memiliki potensi besar untuk membawa kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Dan itu yang diharapkan oleh masyarakat sejak lama. Sedang pada sisi lain, anggaran besar juga berpotensi pada penyalahgunaan anggaran atau pengalokasian anggaran yang tidak tepat. Tidak tepat waktu ataupun sasaran.
Salah satu hal yang banyak dikritisi adalah akhir-akhir ini, adalah masih minimnya serapan anggaran APBD 2019. Pada trimester pertama tahun 2019, anggaran baru terserap 16%. Angka ini cukup kecil mengingat perlunya pembangunan daerah yang membutuhkan kucuran dana yang besar. Hal ini pun kemudian menjadi polemik yang tak berkesudahan.

Politik Kebersamaan
Kepemimpinan Bu Anna dan Mas Wawan diusung oleh PKB dan PDIP. Pasangan ini mengalahkan tiga pasangan calon lain dalam perhelatan pemungutan suara Pilkada pada 27 Juni 2018 lalu. Tiga pasangan lain adalah Soehadi Moelyono dan Mitroatin (Golkar, Demokrat), Mahfudhoh dan Kuswiyanto (Nasdem, Hanura, PAN), serta pasangan Basuki-Pudji Dewanto (Gerindra, PPP).
Hampir satu tahun masa kepemimpinan Bu Anna dan Mas Wawan, ternyata sisa-sisa politik Pilkada masih belum bisa hilang. Padahal, suasana politik pilkada (kubu-kubuan) seharusnya dihilangkan seiring dilantiknya Bu Anna-Mas Wawan sebagai bupati dan wakil bupati Bojonegoro. Hal ini penting karena bupati dan wakil bupati adalah milik masyarakat Bojonegoro secara keseluruhan, bukan milik pengusung saja.
Politik sering dimaknai sebagai cara meraih kekuasaan. Definisi itu tentu saja tidak keliru. Dan politik juga dimaknai sebagai cara melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi, politik pemerintahan daerah maupun pusat telah diatur dalam aturan hukum.

Baca Juga:  Pilkada Jatim: Merawat Demokrasi dalam Kebhinekaan

Sudirman (2012) dalam jurnal Academica vol 4 no 1 menyebut ada 4 syarat yang semestinya dapat dipenuhi dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik. Pertama, adanya struktur dan mekanisme kerja penyelenggara pemerintahan daerah yang bersifat demokratis. Kedua, pengembangan masyarakat sipil, ketiga pengembangan hak asasi manusia dan penegakan hukum. Serta yang keempat pengembangan kapabilitas pelaksana penyelenggara pemerintahan daerah. (hal:768)

Dengan kata lain, Bu Anna dan Mas Wawan perlu memperhatikan empat syarat saat hendak membawa Bojonegoro menjadi daerah yang produktif. Yakni struktur pemerintahan, masyarakat sipil, penegakan hukum, dan profesionalitas. Adanya pemerintahan harus bersinergi dengan masyarakat sipil untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dan untuk sampai pada syarat tersebut ada prasyarat yang perlu terus dipunyai, yakni politik kebersamaan. Yakni politik yang memandang semuanya adalah teman untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Meski kenyataannya, dalam politik tidak semua berada dalam satu kubu. Berbagai macam kelompok politik bukan berarti menjadikan Bojonegoro terpecah-pecah, melainkan merupakan dinamika politik biasa. Bu Anna dan Mas Wawan harus berpikir dan bertindak bahwa mereka adalah pemimpin Bojonegoro, bukan hanya pemimpin satu kelompok saja.

Aparatur Pemerintah yang Profesional

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah memprogramkan SMART ASN 2019. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) di tingkat pusat hingga daerah.

Profesionalisme itu bisa diukur diantaranya dengan penempatan ASN di posisi yang tepat secara transparan dan berintegritas. Profesionalitas ASN akan mampu menekan korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena tantangan terbesar ASN adalah kultur ‘dihormati’ dan bukan ‘melayani’ yang masih banyak dimiliki para pejabat pemerintahan.

Baca Juga:  SIKAP PESANTREN PASCA PILKADA, BACK TO NGAJI !

Profesionalisme ASN juga menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Dalam konteks Bojonegoro, pejabat pemerintahan yang profesional akan mampu mengelola keuangan daerah dengan baik. Sayangnya, hingga saat ini masih banyak pucuk pimpinan di dinas, badan, atau lembaga lain di Pemkab Bojonegoro yang statusnya masih pelaksana tugas (plt). Padahal plt dan pejabat definitif mempunyai kewenangan berbeda. Plt tidak mempunyai kewenangan mengambil kebijakan yang sifatnya strategis.

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini ada beberapa pejabat yang di plt di lingkungan pemerintah Kabupaten Bojonegoro, yaitu :
1. Sekretaris Daerah
2. Kepala Inspektorat
3. Kepala Dinas Kesehatan
4. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga
5. Kepala Dinas Pertanian
6. Kepala Dinas Perijinan
7. Kepala Dinas Perdagangan
8. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa
9. Kepala Dinas BPPKP / Kepegawaian
10. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

Sebagai daerah penghasil minyak, Bojonegoro mempunyai tantangan besar dalam mengelola keuangan daerah. Sehingga dibutuhkan pejabat-pejabat yang profesional. Sebagai ilustrasi saja, tahun 2018, dana bagi hasil (DBH) migas mencapai Rp 2,28 triliun. Angka ini naik 241% dari target Rp 943,2 miliar.

Dengan adanya DBH yang cukup besar, APBD Bojonegoro pun melonjak dan mencapai Rp4,6 triliun. Dibutuhkan aparatur pemerintahan yang cakap dan profesional untuk bisa mengelola anggaran daerah yang besar. Jika tidak, maka dana besar hanya akan menguap begitu saja, dan tidak tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat.

Pada akhirnya, harapan besar berada di pundak Bu Anna dan Mas Wawan sebagai dua orang yang diamanahi memimpin Bojonegoro dalam lima tahun ke depan. Sudah sewajarnya masyarakat Bojonegoro mengharapkan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan bersama. Karena pemimpin daerah adalah pemimpin masa kini dan masa yang akan datang.

*) Penulis adalah :
Alumni Attanwir Talun – Bojonegoro tahun 1997 yang tergabung dalam IKAMI At-tanwir
Calon anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro terpilih pada Pemilu tahun 2019 dari Partai Golkar Dapil 3
Aktivis yang bergerak di bidang sosial dan juga sekaligus aktivis di partai politik (Partai Golkar)