Fenomena Pemilu Pragmatis, Mampukah Berubah?

Oleh : Kustaji, SE

“Tak butuh bicara yang muluk, yang ada hanya ongkos pengganti,” kata pengunjung Warkop. “Siapa yang mengganti ongkos hari ini, ya itu yang kita pilih,” katanya acuh tak acuh. Pembicangan ini jadi celotehan wajib yang muncul ketika pengunjung Warkop bicara pemilihan, pemilu serentak tahun ini tentunya.

Fenomena ini viral ditengah masyarakat, Justifikasi ataukah Kritik? Sepertinya kondisi itu, menggambarkan bagaimana masyarakat memberikan respon terhadap keberadaan semua lembaga negara. Penilaian subjektif atas kondisi secara langsung dan terlontar di ruang publik dengan bahasa sederhana, sesuai pengalaman dan tingkat pendidikan mereka.

Artinya ada masalah pada proses rekruitmen politik ini, titik berat finansial selalu menjadi pokok bahasan kepermukaan meninggalkan esensi kompetensi intelektual.

Transaksional, pragmatisme selalu menjadi isu nomor satu dan mengemuka ketika perhelatan pemiilihan sedang berlangsung. Kekuatan finansial menjadi tolok ukur dalam kalkulasi politik memperebutkan posisi. Pola dan perilaku politik transaksaksional pragmatis inilah yang sejatinya merusak tatanan demokrasi kita. Karena mereka yang berkualitas, punya komitmen dan integritas jarang berkesempatan untuk memenangi kontestasi.

Baca Juga:  levansinya dengan perpolitikan Nasional

Tebaran dan sebaran baliho, banner dan spanduk calon di jalan protokol hingga pelosok desa telah memperlihatkan kontestasi politik lima tahunan sudah benar-benar di mulai. Setiap sudut banyak memamerkan wajah-wajah politikus baik pendatang ataupun incumbent.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah tagline yang mereka pamerkan berbanding lurus dengan kualitas, atau hanya isapan jempol?Akan sangat banyak jawaban dan penjelasan tentunya.

Mengutip kritik salah satu iklan produk, ada seorang lelaki (calon legislatif) datang pada orang pintar untuk minta upgrade kualitas. Apa jawaban orang pintar atau yang dituakan ini? “Otak kosong gini, impossible,” Kritik ini menjadi pukulan yelak bagi calon legislatif kita yang akan bertarung di Pemilu April 2019. Oleh karenanya kualitas calon legislatif menjadi perlu sebagai standart kompetensi dan kepantasan sehingga mampu diterima dan dipilih sebagai wakil rakyat.

Mengukur kualitas calon legislatif bukan perkara yang mudah, bukan pula sulit, bagaimana tingkat pengetahuan juga pemahaman mereka terhadap permasalahan.

Baca Juga:  PUSAKA KEBANGSAAN GENERASI MUDA INDONESIA ADALAH PANCASILA DAN BENDERA MERAH PUTIH

Pertama, sarana untuk mengukurnya bisa dilihat bagaimana mereka dikenal baik dilingkungan utamanya di daerah pemilihan. Tentu tolok ukur yang normatif, seberapa banyak publik mengenalnya, bagaimama integritas dan komitmen mereka terhadap perubahan selama ini, terutama keperpihakan mereka terhadap masyarakat.

Kedua, terbukti dengan kerja-kerja sosial, kemasyarakatan dan pemberdayaan yang telah mereka lakukan, caleg juga tidak memiliki catatan buruk/tersangkut masalah hukum, mampu memimpin, konsent dan aktif dalam pemberantasan korupsi, pembelaan (Advokasi) masyarakat dan sebagainya. Bagi incumbent tentu kinerja dan hasil adalah tolok ukur tersendiri pada memilihnya di sebuah daerah pemilihan.

Ketiga, prestasi dan rekam jejak yang baik di bidangnya adalah ukuran yang mampu terlihat oleh mata pemilih.
Semoga kita semua semakin cerdas dalam memilih, jangan sampai kita menghasilkan anggota Dewan yang terhormat yang di gambarkan sebagai kumpulan orang-orang hebat yang tak peduli kepentingan rakyat.

Salam Restorasi Indonesia
(Penulis adalah Ketua Yayasan Junjung Negeri, sedang menempuh Program Magister di UWP Surabaya)