Tradisi ‘Balang Sega’ Di Desa Tondomulo Warnai Spirit TMMD 105 Bojonegoro

SuaraBojonegoro.com – Di Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, ada tradisi unik tahunan yang dilakukan warga secara turun-temurun. Dengan ‘spirit 105’ pada penyelenggaraan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) sekarang, tim ekspedisi Penerangan Korem (Penrem) 082/CPYJ menelusuri serba serbi desa ini, termasuk budaya setempat.

Tradisi ‘balang sega’ atau istilah lainnya perang nasi diadakan warga Desa Tondomulo, tiap bulan ‘Suro’ dalam rangka ‘bersih desa’. Dimana saat desa tersebut, dijadikan berlangsungnya TMMD ke- 105 Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

“Tradisi tersebut, dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil pertanian atau hasil bumi di desa tersebut. Meskipun teknologi, dan kehidupan saat ini sudah modern, namun tradisi yang di anut oleh warga tidak tergerus oleh jaman,” demikian disampaikan Peltu Lasuri, yang turut dalam prosesi ritual dilokasi acara, Rabu (17/7/2019).

Desa Tondomulo sendiri tidak termasuk dalam ‘zona angker’ di Bojonegoro yang diduga menyimpan sejuta misteri, mistis, dan mitos, baik kasat mata maupun pandangan normal.

“Tradisi balang sega secara rutin diadakan berdekatan dengan Punden ‘Sendang Panji’, sosok yang pertama kali ‘babad desa’ atau cikal bakal terbentuknya pemukiman penduduk desa,” sambungnya.

Baca Juga:  Komnas HAM Kembali Kirim Surat Terkait Merger Sekolah di Bojonegoro

Dari pantauan, anggota Satgas TMMD bersama warga tiga dusun yakni Dusun Jantok, Tondomulo dan Dusun Kedungbulus memanggul gunungan, serta berbondong-bondong menuju tempat dimana ritual akan dilaksanakan.

Dilokasi yang sama, Kepala Desa Tondomulo, Yanto, menjelaskan bahwa panganan yang digunakan untuk tradisi balang sega atau perang nasi ini dibawa oleh warga sudah dalam keadaan terbungkus dengan daun pisang.

“Biasanya nasi itu dibarengi dengan lauk-pauk seperti ikan, tahu, dan tempe sebagai wujud syukur atas rejeki yang telah diberikan oleh Tuhan,” ucapnya.

Namun, sebelum tradisi balang sega atau perang nasi ini dimulai, terlebih dahulu dilakukan ritual sedekah bumi. Dimana ritual tersebut, semua warga yang sudah membawa panganan ritual di wajibkan untuk mengumpulkannya.

Secara otomatis nasi itu dikelilingi oleh semua warga desa untuk bersama-sama memanjatkan doa kepada Tuhan. Semua warga yang hadir memanjatkan doa untuk upacara ritual, agar apa yang mereka lakukan ini dapat diberi berkah dan kelancaran lebih di kemudian hari.

Baca Juga:  Dishub Pasang 15 Titik CCTV Pantau Arus Mudik Lebaran

Setelah ritual sedekah bumi atau berdoa bersama dilakukan, barulah pesta lempar melempar nasi dilakukan. Peserta balang sega ini diikuti oleh seluruh kalangan masyarakat desa, mulai dari orang tua, dewasa, remaja hingga anak-anak.

Tradisi balang sega tersebut, dilakukan dengan hati gembira. Tidak untuk tawuran kekerasan pada umumnya. Seluruh warga desa saling lempar nasi yang telah dibungkus sebelumnya kesegala arah.

Tak heran, jika siapapun yang ada dalam ritual tersebut bisa jadi korban lemparan. Semua dilakukan dengan penuh suka cita tanpa ada rasa dendam. Saling lempar kesana kemari hingga tertawa terbahak-bahak, meskipun badan sudah berlumuran nasi.

“Tradisi balang sega baru akan selesai jika, nasi yang dikumpulkan sudah habis sebagai alat perang. Namun, nasi-nasi yang tidak tertangkap dan jatuh di jalanan, akan diambil oleh para warga untuk pakan ternak,” pungkasnya. (Lis/SB)