Oleh : Khozanah Hidayati *)
suarabojonegoro.com – Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama (NU) kenal dengan Shalawat Badar. Shalawat ini berisi bacaan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, do’a-do’a permohonan dijauhkan dan dihindarkan dari segala marabahaya dan fitnah dan do’a-do’a permohonan ampun kepada Allah. Yang kesemua itu atas wasilah kepada Rosulullah dan Syuhada Ahlu Badar.
Shalawat yang di dekade 60-an dan awal 70-an selalu istiqomah dikumandangkan saat ada majlis-majlis atau pertemuan-pertemuan resmi kaum nahdiyyin dimanapun berada, sangat enak didengar dan bahkan kalau diresapi dengan seksama bisa membawa pembacanya menitikkan air mata. Apalagi kalau irama membawakannya pas dengan bait-bait shalawat yang ada di dalamnya. Bahkan Shalawat Badarpun sering diperdengarkan saat ada kunjungan kenegaraan resmi di saat Gus Dur menjadi presiden dulu.
Kini bahkan Shalawat Badar sudah mendunia, menghiasi acara-acara jam’iyyah dan menjadi amalan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan untuk memantik optimisme. Di bulan haji lalu sempat viral di media-media sosial lantunan Shalawat Badar oleh jamaah haji Indonesia yang lagi menunggu proses imigrasi di bandara Jeddah Arab Saudi.
Shalawat tersebut adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW saat menghadapi cobaan atau tantangan dan bisa membangkitkan optimisme baru bagi para pelantunnya.
Tetapi tak banyak yang tahu bahwa Shalawat Badar dikarang oleh seorang Kiai asli Tuban Jawa Timur dari NU, yakni Kyai Haji Ali Manshur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU. Beliau wafat pada 26 Muharam dan dimakamkan di desa Maibit, Rengel, Tuban.
Pada saat Shalawat Badar ini diciptakan tahun 1960 dimana kondisi sosial politik di tanah air penuh dengan gonjang-ganjing akibat pertentangan ideologi komunis di satu sisi dan ideologi agamis dan nasionalis di sisi seberangnya. Dimana pertentangan ini tidak sekedar pertentangan gagasan dan idelogi tapi bahkan sudah adu fisik. Pertentangan tersebut tidak hanya terjadi di tingkat elit tapi di akar rumputpun terjadi gesekan. Di puncak pertentangan tersebut ribuan dan bahkan puluhan ribuan rakyat jadi korban jiwa. Sungguh pertentangan tersebut bisa dikatakan sebagai sejarah kelam Nusantara dimana terjadi pergolakan rakyat yang sangat memiriskan hati yang jangan sampai terjadi kembali.
Pada pertentangan tersebut PKI menggunakan lagu rakyat Oseng Banyuwangi yakni Genjer-genjer sebagai lagu kebanggaan mereka yang selalu dikumandangkan pada setiap ada pertemuan akbar PKI. PKI dengan lagu Genjer-genjer mendapat perlawanan dengan lantunan Shalawat Badar dari kaum Nahdiyyin. Persaingan lagu Genjer-genjer dan Sholawat Badar ibarat tombak bermata dua kala itu. Selain soal kejahatan kemanusiaan, sejarah 1965 juga mencatat tentang lagu-lagu atau theme song yang mewarnai selama konflik PKI dan golongan muslim terjadi. Bahkan gubahan yang menjadi spirit dari keduanya hingga hari ini terus dikenang.
Jika PKI mengklaim lagu Genjer-genjer karya Muhammad Arif yang menjadi nada ‘kebangsaan’ bagi nadi aktivis PKI dan badan otonomnya, maka kelompok hijau atau muslim yang diwakili oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan Sholawat Badar gubahan KH. Ali Manshur sebagai lagu tandingan dan sekaligus sebagai laku spiritual dengan jalan membaca shalawat kepada nabi Muhammad dan berwasilah kepadanya dan kepada para syuhada ahlul Badar.
Kompetisi politik dan kompetisi adu pengaruh kala itu menjadi milik PKI dan NU. Kedua kubu bersebrangan saling serang, saling kritik, hingga saling beradu fisik yang tak sekali menelan korban jiwa. Saat itu NU berdiri paling depan menyelamatkan NKRI dan Pancasila dari agenda pengkudetaan PKI dan antek-anteknya terhadap pemerintahan Soekarno.
Merujuk pada pergolakan di tahun 65 tersebut Shalawat Badar cukup efektif untuk menggerakkan kaum hijau dalam hal ini kaum nahdiyyin untuk bangkit melawan idelogi komunis yang tidak mengimani adanya Tuhan. Kaum sarungan berjuang melawan paham komunis dengan langkah nyata dengan dibarengi lelaku spritual melantunkan Shalawat Badar sebagai sarana bertawasul kepada Rosulullah dan kepada para syuhada Ahlul Badar. Dan kenyataan akhirnya paham komunis tumbang dari bumi Nusantara ini. Dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia dengan diperkuat oleh Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara Tap MPRS no. XXV Tahun 1966.
Mengingat cukup kuatnya Shalawat Badar sebagai sarana wasilah dalam melawan kemungkaran dan melawan paham-paham yang akan menghancurkan Pancasila dan paham Ahlu Sunah Wal Jama’ah seperti di tahun 60-an tersebut, maka sudah selayaknya bahwa spirit Shalawat Badar ini untuk direvitalisasi dengan jalan dimasyarakatkan kembali agar selaku istiqomah digemakan di majlis-majlis atau di pertemuan-pertemuan resmi lainnya agar barokah Shalawat Badar juga bisa memadamkan pertentangan-pertentangan di masyarakat dewasa ini dimana fitnah-fitnah keji kepada kyai-kyai NU dan ulama-ulama jadi tontonan sehari-hari yang dimasifkan dengan fasilitas media sosial berupa berita hoax atau berita palsu dan fitnah murahan.
Disamping itu, revitalisasi spirit Shalawat Badar juga diharapkan bisa menangkal penyebaran paham keagamaan transnasional yang prilakunya selalu menyerang dan mengkafirkan sesama muslim yang tidak sepaham dan sehaluan dengannya. Bahkan paham-paham transnasional tersebut mengharamkan untuk melantunkan Shalawat Badar, karena bagi mereka wasilah adalah perbuatan syirik. Padahal bagi kaum Ahlu Sunnah Wal Jamaah berwasilah kepada Nabi, waliyullah atau kepada para ulama adalah suatu keniscayaan dalam berdoa.
Penyebaran paham-paham transnasional yang sangat puritan dan kaku serta tekstual dalam memahami konsep keagamaan tersebut
dewasa ini cukup meresahkan masyarakat karena perilaku mereka yang menentang dan mengkafirkan ritual-ritual ibadah yang sudah menjadi kebiasaan dan lelaku ibadah masyarakat. Bahkan penyebarannya di tanah air dewasa ini bisa dikatakan masif dengan dukungan dana besar dari luar negeri.
Semoga dengan adanya revitalisasi spirit Shalawat Badar akan membawa masyarakat adem dan damai jauh dari pertentangan-pertentangan yang tidak semestinya terjadi. Dan dengan mengistiqomahkan Shalawat Badar semoga kita mendapat barokahnya di dunia ini dan nanti mendapat safa’at dari Nabi Muhammad di hari pengadilan kelak. Semoga!
*)Penulis adalah anggota FPKB DPRD Jatim.