Refleksi 348 Tahun Kabupaten Bojonegoro Perjalanan dan Kebangkitan Ekonomi di Tengah Geliat Industri

Oleh : Dr. Mukhamad Roni, S.E.,M.E

 

Ekonomi dan Perubahan Struktural

Pengantar

Bojonegoro adalah cerminan daerah yang tumbuh di antara dua dunia: tradisi agraris yang mengakar dan modernisasi industri yang menggeliat. Perubahan ekonomi di Bojonegoro tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses panjang adaptasi, kebijakan, dan daya juang masyarakatnya. Dalam tiga dekade terakhir, wajah ekonomi Bojonegoro telah berubah secara signifikan — dari kabupaten yang bergantung pada sektor pertanian, menjadi daerah dengan geliat industri yang kuat, terutama di bidang migas dan infrastruktur pendukungnya.

Namun, di balik geliat tersebut, muncul pula pertanyaan reflektif: apakah perubahan struktur ekonomi ini benar-benar menghadirkan pemerataan kesejahteraan? Ataukah justru menciptakan jurang sosial baru antara masyarakat di lingkar industri dan mereka yang masih bertumpu pada sektor tradisional?

Dari Pertanian ke Industri: Transisi yang Tak Terelakkan

Bojonegoro secara historis dikenal sebagai lumbung pangan di wilayah barat Jawa Timur. Padi, jagung, dan tembakau menjadi identitas pertanian yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Irama musim tanam dan panen bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga bagian dari kebudayaan dan spiritualitas masyarakat desa. Namun, sejak ditemukannya potensi besar minyak bumi di wilayah Cepu dan sekitarnya, peta ekonomi Bojonegoro berubah.

Kehadiran industri migas membawa peluang baru: peningkatan pendapatan daerah, kesempatan kerja, dan infrastruktur modern. Jalan-jalan baru dibangun, kawasan kota tumbuh pesat, dan aktivitas ekonomi meningkat. Akan tetapi, di sisi lain, muncul tantangan baru ketimpangan antara desa dan kota, antara sektor industri yang padat modal dan sektor pertanian yang padat tenaga kerja.

Transisi ekonomi ini memperlihatkan bahwa modernisasi membawa manfaat, tetapi juga risiko sosial. Pekerja industri tumbuh, namun banyak petani yang kehilangan lahan produktif. Mobilitas ekonomi meningkat, tetapi juga diikuti dengan meningkatnya biaya hidup dan kesenjangan pendapatan.

Migas dan Dinamika Ekonomi Daerah

Sektor minyak dan gas bumi (migas) menjadi tonggak penting bagi kebangkitan ekonomi Bojonegoro. Lapangan minyak di Banyuurip, Blok Cepu, menjadi salah satu penghasil terbesar di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya meningkatkan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tetapi juga menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan.

Baca Juga:  Kebangkitan Nasional dan Adaptasi Dengan Pandemi

Namun, ketergantungan terhadap migas menimbulkan dilema klasik: bagaimana menjamin keberlanjutan ekonomi ketika sumber daya alam bersifat terbatas dan tidak terbarukan? Apalagi, efek ekonomi dari sektor ini seringkali tidak merata. Sebagian besar masyarakat sekitar hanya menikmati efek tidak langsung, seperti pertumbuhan usaha kecil, perumahan, dan jasa pendukung.

Pemerintah daerah Bojonegoro kemudian mengambil langkah strategis dengan memperkuat tata kelola Dana Bagi Hasil Migas (DBH). Upaya transparansi melalui portal data publik menjadi salah satu contoh inovasi pemerintahan yang patut diapresiasi. Bojonegoro berusaha menjadikan kekayaan alam bukan sekadar berkah sesaat, tetapi modal pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.

UMKM dan Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Industri

Di tengah besarnya perhatian pada sektor migas, Bojonegoro tidak melupakan akar ekonomi kerakyatannya. Ribuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tumbuh di berbagai kecamatan. Mulai dari industri olahan pangan, batik Jonegoroan, hingga kerajinan bambu dan rotan semua menjadi simbol ketangguhan masyarakat lokal di tengah perubahan zaman.

UMKM tidak hanya menjadi penyerap tenaga kerja, tetapi juga ruang kreativitas dan kemandirian ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul generasi muda Bojonegoro yang mulai menaruh perhatian pada local branding dan digitalisasi produk lokal. Mereka mengubah cara berbisnis, memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas pasar, dan menjadikan Bojonegoro lebih adaptif terhadap ekonomi modern.

Namun, tantangannya masih besar: akses permodalan yang terbatas, rendahnya literasi keuangan, serta minimnya integrasi antara UMKM dengan sektor industri besar. Di sinilah peran pemerintah dan perguruan tinggi menjadi penting sebagai jembatan antara ekonomi tradisional dan ekonomi industri.

Ketenagakerjaan dan SDM Lokal

Pergeseran ekonomi menuju sektor industri membawa konsekuensi pada dunia kerja. Permintaan terhadap tenaga kerja dengan keterampilan teknis meningkat, sementara sebagian tenaga kerja lokal belum siap menghadapi kebutuhan industri modern. Hal ini menyebabkan banyak posisi strategis diisi oleh tenaga kerja dari luar daerah.

Baca Juga:  BISAKAH PETANI SEJAHTERA DALAM NEOLIB???

Untuk menjawab tantangan ini, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mulai memperkuat pelatihan vokasional, kerja sama dengan dunia usaha, serta peningkatan kapasitas pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan dan pesantren juga mulai berperan sebagai pusat pembentukan karakter dan keterampilan kerja berbasis nilai-nilai lokal.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi faktor kunci bagi keberlanjutan ekonomi Bojonegoro. Tanpa SDM yang unggul, industri yang tumbuh tidak akan sepenuhnya memberi manfaat bagi masyarakat lokal.

Tantangan Pemerataan dan Keadilan Ekonomi

Kebangkitan ekonomi tidak boleh hanya dinikmati oleh segelintir kelompok. Bojonegoro menghadapi tantangan pemerataan pembangunan — antara wilayah perkotaan yang tumbuh cepat dan desa yang masih tertinggal. Ketimpangan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan infrastruktur.

Keadilan ekonomi harus menjadi arah kebijakan pembangunan daerah. Dana migas, investasi industri, dan pembangunan infrastruktur perlu dirancang agar memberikan manfaat langsung bagi masyarakat desa. Ekonomi Bojonegoro harus menjadi ekonomi yang inklusif, bukan eksklusif.

Refleksi

Perubahan struktur ekonomi Bojonegoro adalah keniscayaan sejarah. Dari tanah yang menumbuhkan padi hingga bumi yang mengalirkan minyak, Bojonegoro telah membuktikan bahwa dirinya mampu beradaptasi dengan zaman. Namun, refleksi penting dari perjalanan ini adalah kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi sejati bukan hanya tentang angka, melainkan tentang keberpihakan kepada manusia.

Kebangkitan ekonomi Bojonegoro tidak boleh hanya diukur dari tingginya PDRB atau banyaknya investasi, tetapi dari sejauh mana masyarakatnya merasa hidup lebih layak, adil, dan bermartabat. Bojonegoro kini berdiri di simpang jalan: antara mengejar kemajuan industri dan menjaga nilai kemanusiaan.

Di titik inilah, refleksi menjadi penting agar geliat industri tidak menenggelamkan suara rakyat kecil, dan agar kebangkitan ekonomi menjadi cermin dari kebijaksanaan, bukan sekadar kebesaran angka. (**)

*)Penulis adalah Dosen dan Peneliti Ekonomi dan Keuangan Syariah.