Reporter : Putut Sugiarto
SuaraBojonegoro.com – Ratusan mahasiswa dan warga Bojonegoro menggelar demonstrasi di depan Gedung DPRD Bojonegoro, Jalan Veteran, menolak Undang-Undang (UU) TNI yang baru disahkan pada Selasa 20 Maret 2025 lalu. Kamis 27/04/2025.
Aksi bertajuk “Veteran Memanggil: Tolak UU TNI, Kembalikan TNI ke Barak” ini diikuti berbagai organisasi mahasiswa (PMII, GMNI, IMM, HMI) dan kelompok masyarakat sipil seperti Rakyat Bantu Rakyat (RBR), Aliansi Bojonegoro Melawan, dan Pemuda Sosial Bojonegoro.
Demonstrasi ini merupakan puncak dari keresahan publik terhadap proses pengesahan UU TNI yang dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik. Proses cepatnya pengesahan UU—hanya tiga hari setelah pembahasan awal—menimbulkan kecurigaan. Komisi I DPR memulai perumusan dan sinkronisasi dalam rapat Timus dan Timsin pada Senin, 17 Maret 2025, dilanjutkan pembahasan hasil perumusan di rapat Panja pada Selasa, 18 Maret 2025, dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Ironisnya, beberapa perwakilan masyarakat sipil bahkan dikriminalisasi saat memprotes pembahasan tertutup revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Sabtu, 15 Maret 2025.
Lebih jauh, masuknya RUU TNI ke dalam Prolegnas prioritas 2025 pasca diterbitkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 pada 18 Februari 2025, juga menimbulkan pertanyaan. Kecepatan pembahasan RUU TNI ini berbanding terbalik dengan lambannya pengesahan RUU yang dinantikan publik, seperti RUU PRT. Menurut laporan Tempo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah lama berniat merevisi UU TNI.
Revisi UU TNI ini mencakup tiga perubahan signifikan: kedudukan, peran, dan masa dinas prajurit TNI. Pasal 3 menegaskan kedudukan TNI di bawah Presiden dalam pengerahan kekuatan militer, sementara Pasal 7 memperluas tugas pokok TNI, termasuk di ranah siber, yang dikhawatirkan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal 47 menambah jumlah lembaga sipil yang dapat diisi prajurit aktif dari 10 menjadi 15 instansi, dan Pasal 53 memperpanjang batas usia pensiun perwira hingga 60 tahun dan bintara/tamtama hingga 58 tahun.
Para demonstran khawatir perubahan-perubahan ini akan memperkuat dwi fungsi militer, meningkatkan impunitas, dan mengancam demokrasi. Struktur hierarkis TNI yang berbasis rantai komando dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Pengalaman pahit masa lalu di Bojonegoro, di mana militer dikerahkan untuk kepentingan perusahaan migas, menunjukkan potensi penyalahgunaan kekuasaan ini. Peristiwa pemaksaan pembebasan lahan untuk pengeboran Banyu Urip (1998), pengamanan uji seismik Mobil Cepu Ltd (2002), dan penembakan warga yang menuntut ganti rugi atas kebocoran gas sumur rahayu (Pertamina Devon Energy) menjadi bukti nyata.
Demonstran menuntut pencabutan UU TNI yang dianggap mengancam demokrasi dan hak-hak sipil, serta berpotensi meningkatkan militarisasi. Mereka juga mendesak agar TNI kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara, serta menuntut agar proses hukum yang transparan dan akuntabel diterapkan terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari DPRD Bojonegoro, namun kepolisian setempat telah mencatat aspirasi dan berjanji menyampaikannya kepada pihak terkait.(Put/Red)