SUARABOJONEGORO.COM – Anjloknya harga kedelai setiap panen raya telah menjadi masalah lama di Bojonegoro yang hingga sekarang belum ditemukan solusinya. Petani kedelai selalu kesulitan mendapatkan harga tinggi untuk menyesuaikan biaya tanam.
Fenomena ini ditangkap pasangan Cabup dan Cawabup Bojonegoro, Soehadi Moeljono dan Mitroatin. Pasangan nomor urut 1 yang biasa disebut warga “Mulyo-Atine” ini telah menyiapkan program ekonomi kreatif bagi masyarakat. Yakni mengoptimalkan produk olahan dari hasil pertanian agar lebih memiliki nilai jual tinggi.
Petani Desa Mojoranu, Kecamatan Dander, Firmansyah, mengaku, harga kedelai pada musim panen lalu cenderung stabil. Harga jual saat panen hanya Rp6.000 per kilogram (Kg), dan kemudian turun pada panen raya menjadi Rp5.000 per Kg. Harga tersebut belum sebanding dengan harga bibit kedelai yang mencapai Rp15.000 per Kg.
“Kami berharap, ada kenaikan harga kedelai saat panen,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (5/4/2018).
Idealnya petani bisa untung jika harga kedelai bisa mencapai Rp8.000 sampai Rp9.000 per Kg. Harga ini bisa menutupi biaya tanam yang terus meningkat seperti pupuk, obat-obatan, dan ongkos tenaga kerja.
“Kalau segitu kita baru bisa untung,” ucap pria berusia 45 tahun ini.
Biasanya tanam kedelai akan dilakukan lagi pada musim kemarau, atau sekitaran bulan Juni nanti. Namun ancaman serangan hama juga selalu terjadi selama usia tanam kurang lebih empat bulan. Seperti serangan ulat, dan tikus.
“Kalau sudah diserang hama, biasanya tidak bisa berbuah,” ungkapnya.
Selama ini, belum ada bantuan dari pemerintah baik itu bibit maupun pupuk. Hanya tentang arahan bagaimana cara menanam yang baik, dan benar dari petugas lapangan.
Petani lainnya, Parman (55), mengaku, kedelai bukan merupakan komoditas utama. Namun begitu, petani asal Desa Kaliombo, Kecamatan Purwosari, itu selalu menanam kedelai setelah padi.
Menurut dia, kendala selama menanam kedelai adalah memasarkan produksi. Karena harus memiliki pembeli tetap. Jika dijual di pasar sulit, dan jarang pembelinya.
Tiap panen harga kedelai miliknya dihargai Rp6.000 per Kg. Nilai ini tergolong murah karena memang sulit untuk memasarkannya.
“Belum tahu ya, kenapa kok harga kedelai tidak ada kenaikan. Mungkin karena kebutuhannya sedikit di Bojonegoro,” tukasnya.
Karena itu, baik Firmansyah maupun Parman sangat mendukung jika kedepan ada industri pengolahan hasil produksi pertanian. Karena dapat meningkatkan nilai jual kedelai di tingkat petani.
Selain itu dapat memperpanjang umur simpan produksi, dan memberikan nilai tambah kepada petani, serta dapat menyerap tenaga kerja.
“Semoga bupati terpilih mendatang benar-benar mewujudkannya agar pendapatan petani meningkat,” pungkasnya.
Sementara itu, data di Dinas Pertanian Bojonegoro, luas lahan komoditi kedelai 16.219 hektar dengan capaian produksi rata-rata tiap tahun mencapai 27.900 ton. Untuk meningkatkan produktivitas petani telah dilakukan pendampingan dan penyuluhan, juga pemberian bantuan sarana produksi tahun ini untuk 1.000 hektar berupa benih, pupuk, dan peptisida.
“Bantuan nanti akan diterima kelompok tani, dan kemudian disalurkan ke petani,” sambung Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian, Zaenal Fanani.
Dimintai tanggapannya, Cabup Soehadi Moeljono, menyatakan, telah menyiapkan program ekonomi kreatif berupa pengolahan hasil produksi pertanian. Konsepnya, masyarakat akan diberikan keterampilan untuk mengolah produk hasil pertanian menjadi produk olahan yang memanfaatkan hasil pertanian. Juga permodalan dan akses pasar agar industri pertanian bisa tergarap optimal mulai hulu hingga hilir.
“Dengan begitu akan memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat pasca panen, dan membuka lapangan kerja baru,” tegas cabup yang berpasangan dengan Kader NU, Mitroatin, ini. (*/red)