SUARABOJONEGORO.COM – Program ekonomi kreatif pengolahan produksi pertanian disiapkan pasangan Cabup dan Cawabup Bojonegoro, Soehadi Moeljono dan Mitroatin, atau akrab disebut “Mulyo – Atine” akan mampu membantu para perajin. Selain bahan baku tercukupi, mereka akan diberikan pelatihan, pendampingan, akses permodalan hingga pemasarannya.
Perajin tempe asal Desa Sukorjo, Kecamatan Bojonegoro, Abdul Syawal, mengaku, selama sepuluh tahun menggeluti usahanya belum pernah sekalipun mendapatkan bantuan apapun dari Pemkab Bojonegoro. Baik itu bantuan permodalan, pelatihan, ataupun peralatan.
“Belum pernah sama sekali,” kata pria berusia 80 tahun ini kepada wartawan, Kamis (4/4/2018),
Pembuatan tempe yang dilakukan Mbah Syawal ini merupakan usaha turun temurun sejak tahun 1965. Setiap hari dia menghabiskan 35 kilo gram (Kg) kedelai.
Palawija itu dipil, dicuci, dijemur, sebelum direbus dan kemudian ditata di pelepah pisang untuk dijadikan “bakal” tempe. Semua proses itu dikerjakan bersama anggota keluarga.
Dari 36 Kg kedelai itu bisa menghasilkan tempe 2,5 meter. Kemudian dipotong-potong sesuai pesanan. Untuk ukuran 15 centi meter dijual seharga Rp1.000.
Produk makanan favorit masyarakat ini dijual ke pedagang sayur, pedagang gorengan, pemilik warung, dan rumahan yang ada seputar kota Bojonegoro.
Sayangnya usaha itu belum berkembang signifikan. Keuntungan yang diperoleh setiap harinya belum mampu dipakai mengembangkan usahanya.
“Kalau dulu, harga kedelai masih murah, labanya masih cukup untuk biaya hidup dan menyekolahkan anak-anak. Kalau sekarang ya pas-pasan,” ungkapnya.
Harga kedelai yang menjadi bahan baku tiap tahunnya naik. Jika sepuluh tahun lalu harganya masih Rp3.000 an per Kg, sekarang menjadi Rp7.500 per Kg. Belum lagi beban biaya listrik dan air untuk penggerak dinamo dalam proses pengolahan tempe.
Meski ada kenaikan bahan baku dan operasional, namun dirinya tidak mampu menaikkan harga tempe. Kalaupun terpaksa hanya bisa menaikkan Rp500 saja.
Senada disampaikan Winasis (32), perajin tahu Kelurahan Ledok Kulon, Kecamatan Kota. Usaha dari orang tuanya itu belum perkembangan signifikan karena bentuknya monoton seperti tahu goreng pada umumnya.
Ibu dua anak itu bercita-cita dapat memodifikasi, dan mematenkan hasil produksinya. Namun semua terkendala keterampilan yang dimiliki. Sisi lain, pemerintah daerah belum memberikan pelatihan agar perajin bisa meningkatkan kualitas, sehingga dapat mengangkat nilai jualnya.
Sekarang ini harga bahan baku kedelai selalu mengalami kenaikan, Dari awalnya Rp5.000 per Kg, naik menjadi Rp6.000 per Kg, dan sekarang sampai pada Rp7.600 per kilogram.
Untuk menyiasatinya terpaksa mengurangi volume tahu. Karena harga jual tahu masih sama dari dulu, Rp500 per bijinya. Hasil produksi itu dijual di beberapa pasar di Bojonegoro.
“Inginnya tahu ini bisa dibentuk atau diolah seperti apa agar harganya naik,” sambung Winasis dikonfirmasi terpisah.
Baik Mbah Syawal maupun Winasis berharap pemerintah kabupaten kedepan bisa meningkatkan keterampilan para perajin, memberikan bantuan alat dan permodalan agar usaha mereka berkembang.
Menanggapi hal itu, salah satu Cabup Soehadi Moeljono, menyatakan, home industri ini merupakan ekonomi kerakyatan yang perlu didorong. Selama ini, lanjut Pak Mul, sapaan akrabnya, yang menjadi persoalan adalah sumber daya perajin, peralatan akses permodalan dan pasar.
Untuk itu kedepan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah program untuk membantu para perajin ini. Yakni dengan pemberian keterampilan untuk meningkatkan kualitas produksi, kemudahan akses permodalan, dan pasar.
“Jika kualitas produsinya bagus tentu harga jualnya juga meningkat. Begitu juga bantuan peralatan dengan akses permodalan dan pemasaran bila bisa kita permudah, usaha akan cepat berkembang,” pungkas cabup yang berpasangan dengan Mitroatin, Kader NU Bojonegoro. (*/red)